Senin, 10 Maret 2014

Askep Chron diseases dan Leptospirosis


Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan
Gangguan Intestinal "Chron Diseases dan Leptospirosis" 




Stikes.jpg






Kelompok II
 


            Sevana Ch Mayaut (P1207027)               Maria Immaculata C. B (P1207022)
            Fatry Darmansyah (P1207008)               Irmawati M (P1207017)
            Valentina Rumlus (P1207029)                 Kristina Vinolia Febriana (P1207020)
            Hendranus Suprianto (P1207013)         Krispinus Daru (P1207021)
            Zainudin Pattiiha (P1207033)                  Fredyrikus Carlokum (P1207010)         








S1 KEPERAWATAN


STIKES GRAHA EDUKASI MAKASSAR



2013/2014
 







KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan serta kelancaran dalam menyelesainkan tugas ini tepat waktu dan sesuai dengan yang diharapkan.
Makalah ini membahas tentang “Konsep Medis dan Konsep Keperawatan Gangguan Intestinal” dan penyakit atau masalah yang diangkan adalah pada pasien dengan Hepatitis Chron Diseases dan Leptospiosis. Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Keperawatan.
Penyusun mendapat beberapa literatur yang berhubungan dengan pokok pemasalahan dalam model konsep keperawatan ini. Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan para pembaca. Dan kritik serta saran selalu kami tunggu guna kesempurnaan makalah selanjutnya.





                                                                                         Makassar, 06 Maret 2014


                Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira pathogen dan digolongkan sebagi zoonosis yaitu penyakit hewan yang bisa menjangkiti manusia. Gejala klinis leptopirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influenza, meningitis, hepatitis, demam dengue demam berdarah dan demam virus lainnya. Sehingga seringkali tidak terdiagnosis.
Leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Leptospira bisa terdapat pada hewan piaraan maupun hewan liar. Leptospirosis dapat berjangkit pada laki-laki maupun wanita semua umur tetapi kebanyakan mengenai laki-laki dewasa muda (50% kasus umumnya berusia antara 10-39 tahun diantaranya 80% laki-laki).
Angka kematian akibat penyakit yang disebabkan bakteri lepstopira tergolong cukup tinggi bahkan untuk penderita yang berusia lebih dari 50 tahun malah kematiannya bisa mencapai 56% (Masniari poengan, peneliti dari Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor 2007).
Di Amerika Serikat tercatat sebanyak 50-150 kasus leptospirosis setiap tahun sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Salah satu daerah di Indonesia merupakan daerah endemik Leptospirosis yaitu di Guilan Provinsi di utara di Iran. Karena diagnosa Leptospirosis berdasarkan gejala klinis sangat sulit karena kurangnya karakteristik pathogonomic, dukungan laboratorium diperlukan. Angka kejadian penyakit leptospirosis di Provinsi Guilan Iran Utara cukup tinggi terutama pada daerah Rasht. Pada daerah tersebut terdapat 233 kasus Leptospirosis dari keseluruhan kasus yang berjumlah 769.
Penyakit crohn (PC) merupakan suatu penyakit kronis, transmural dan proses inflamasinyadapat mengenai berbagai segmen saluran cerna mulai dari mulut sampai anus. Penyakit crohnmerupakan satu dari dua kelainan utama inflammatory bowel disease. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada orang berkulit putih, mengenai pria dan wanita sama banyak. Sekitar 25% kasusbaru PC terjadi pada usia <20 tahun.
Puncak insiden PC muncul pada dekade 2 dan 3 kehidupan,kurang dari 5% kasus anak terjadi pada usia di bawah 5 tahun. Pada tahun 1932, Chorn, Ginzberg dan Oppenheimer mendeskripsikan penyakit Chorn dengan melokalisasi segmen ileum dan mempengaruhi gastrointestinal lainnya. Kondisi ini kemudian di dokumentasikan bahwa enteritis regional bisa melibatkan bagian manapun dari saluran gastrointrstinal.
Di Amerika Serikat prevalensi enteritis regional adalah sekitar 7 kasus per 100.000 penduduk. Insiden dan prevalensi enteritis regional atau terutama colon tampaknya terus meningkat selama 5 dekade terkhir, terutama dibagian iklim utara. Tingkat insiden di Eropa berkisar 0,7 – 9,8 kasus per 100.000 orang, di Asia berkisar 0,5 – 4,2 per 100.000, dan tingkat kasus baru yang terendah muncul di Afrika Selatan (0,3 – 2,6 per 100.000) dan Amerika Latin (0 – 0,03 per 100.000) (Arif Muttaqin, 2001).

B.     Tujuan
1. Konsep Medis dari Penyakit Chron Disease  dan Leptospirosis berupa:
*      Defenisi
*      Etiologi
*      Patofisiologi
*      Manifestasi klinis
*      Penatalaksanaan
*      Komplikasi
*      Pencegahan
*      Penyimpangan KDM

2. Konsep keperawatan dari penyakit Chron Disease dan Leptospirosis berupa :
*      Pengkjian
*      Diagnosa
*      Intervensi
*      Implementasi
*      Evaluasi


BAB II
TINJAUAN USTAKA

A.   KONSEP MEDIS CHRON DISEASE
1.      Konsep medis
A.   Defenisi
Crohn's disease merupakan bagian dari Inflammatory bowel disease. Inflammatory bowel disease (IBD) adalah sejenis penyakit idiopatik, disebabkan oleh imunasi badan terhadap usus sendiri.Inflamasi ini adalah kronic dan dihasilkan daripada ketidaksesuaian dan keaktifan imunasi mucosa yang berpanjangan disebabkan oleh kehadiran flora lumen yang biasa.
Enteritis regional atau lebih dikenal dengan penyakit Crohn adalah suatu penyakit idiopatik dan kronis dengan proses peradangan pada intestinal yang sering menyebabkan fibrosis dan gejala obstruktif, yang dapat mempengaruhi bagian manapun dari saluran gastrointestinal dari mulut ke anus (Arif Muttaqin, 2001).
Penyakit crohn adalah proses peradangan kronis transmural yang dapat ditemukan di salah satubagian dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Penyakit crohn merupakan satu dari dua kelainan utama inflammatory bowel disease (IBD). Penyakit crohn dapat mengenai bagian manapun dari saluran cerna, tidak hanya regional, merupakan penyakit multi sistem dengan manifestasi pada kulit dan membran mukosa (Arif Muttaqin, 2001).
Penyakit Crohn adalah radang kronis dengan etiologi yang tidak diketahui, pada usus halus sering terkena tetapi dapat mengenai seluruh bagian usus, ditandai secara khas oleh radang transmural dengan granuloma. Usus yang menebal dan fisura akan menyebabkan obtruksi intestinal dan fistulasi (Underwood, 1999 : 452).
Penyakit Crohn adalah penyakit inflamasi kronis di usus yang ditandai dengan peradangan di semua saluran gastrointestinal. Kelainan ini terutama mengenai lapisan sub mukosa dan usus halus dan usus besar (Buku Saku Patofisiologi Corwin Elizabeth).
Penyakit Corhn adalah suatu gangguan radang kronis usus idiopatik yang melibatkan bagian seluruh saluran pencernaan yang mana saja mulai dari mulut sampai anus (Berham Klirgeman, Book google).


B.   MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang paling sering timbul adalah sebagai berikut :
a.    Diare
Jika terjadi pada anak, bila anak terbangun pada malam hari karena diare maka keadaan patologis
b.    Nyeri perut          
Bentuk nyeri perut bervariasi tergantung dari daerah usus yang terkena. Ketidak nyamanan pada daerah perut kanan bawah biasanya pada kelainan ileum terminalis dan sekum yang bisa diperiksa dengan palpasi. Nyeri pad daerah umbilikal biasanya karena kelainan kolon atau kelainan usus yang difus. Biasanya nyeri perut akibat PC bersifat persisten dan jika terjadi pada anak akan membuat anak sering terbangun di malam hari.
c.    Perdarahan rektum         
Perdarahan biasanya setelah ada ulserasi pada dinding usus dan melibatkan pembuluh darah besar
d.    Anoreksia
e.    Penurunan berat badan
f.     Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi
g.    Demam ringan
h.    Malaise
i.      Kegagalan perumbuhan dengan keterlambatan pematangan tulang (terutama pada anak)
j.      Gejala – gejala yang timbul di ekstra intestinal, anata lain :
a)     Persendian
artritis dan artralgia ditemukan pada 15% penderita PC dan dapattimbul beberapa tahun sebelum gejala pada saluran cerna muncul. Pada umumnya terjadi pada persendian besar di kaki.
b)      Muskuloskleletal
Ditemukan adanya keluhan mialgia, miositis granulomatosa, miopati, dan dermatomiositis.
c)     Kulit
Manifestasi kulit didapatkan pada 1-4% berupa eritema nodosum, piodermagangrenosa, epidermolisis bulosa akuisita, poliartritis nodosa dan metastatic crohn disease (MCD/PC metastatik). MCD pertama kali diperkenalkan oleh Park pada tahun1965 merupakan komplikasi penyakit crohn berupa lesi granulomatosa pada kulit.
d)     Mukosa mulut          
sariawan sering ditemukan, meskipun tidak begitu sakit tapimembuat rasa tidak nyaman.
e)     Kelainan mata          
hampir 10% pasien mempunyai komplikasi pada mata termasuk iritis, episkleritis, uveitis, dan pseudo tumor orbita.
f)      Vaskular
berupa trombositosis, peningkatan fibrinogen, faktor V dan faktor VIII serta penurunan anti thrombin III
g)     Ginjal
obstruksi ureteral dan hidronefrosis , fistula enterovesikel, infeksiperivesikal, dan nefrolitiasis.

C.   ETIOLOGI
Etiologi dari Penyakit Corhn belum diketahui secara pasti, namun para ahli meyakini disebabkan karena faktor berikut :
a)  Hiperaktivitas sistem imun
b)  Diduga adanya faktor infeksi
c)  Predisposisi faktor genetik
d)  Pola makan atau makanan yang tidak sehat yang dapat menimbulkan inflamasi
e)  Obat anti – inflamasi non-steroid (OAINS)
f)   Lingkungan seperti sering mengkonsumsi tembakau yang memiliki efek pada faktor pencetus penyakit Corhn

D.   PATOFISIOLOGI
Penyebab dari penyakit Corhn masuh belum diketahui secara pasti. Beberapa predisposisi seperti genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, penyakit vascular dan faktor psikososial, termasuk merokok, kontrasepsi oral serta menggunakan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), diyakini oleh sebagian besar ahli terlibat dalam patogenesis Penyakit Corhn.
Secara mikroskopis lesi awal dimulai sebagai fokus peradangan diikuti dengan ulserasi mukosa yang dangkal. Kemudian menyerang sel – sel inflamasi dalam lapisan mukosa dan dalam proses mulai membentuk granuloma. Granuloma menyelimuti semua lapisan dinding usus dan masuk kedalam mesenterium dan kelenjar getah bening regional. Infiltrasi neutrofil ke dalam bentuk abses yang dalam menyebabkan kerusakan pada lapisan dalam dan atrofi dari usus besar.
Secara makroskopis kelainan awal dari hiperemia dan edema dari mukosa yang terlibat. Kemudian, diskrit terbentuk ulkus limfoid dangkal dan dipandang sebagai bintik – bintik merah atau depresi mukosa. Keadaan ini dapat menjadi mendalam, borok serpiginous terletak melintang dan longitudinal diatas mukosa yang meradang. Hasil peradangan transmural atau meliputi mukosa dan seluruh dinding membentuk penebalan dinding usus dan penyempitan lumen. Obstruksi pada awalnya disebabkan oleh edema dari mukosa dan spasme usus terkait. Obstruksi biasanya bersifat intermitten dan sering reversibel setelah mendapat agen anti inflamasi.
Pada proses lanjut halangan menjadi kronis akibat jaringan parut, penyempitan lumen dan oembentuk striktur.
Manifestasi pada penyakit Corhn akan terjadi nyeri abdoemn menetap dan diare yang tidak hilang dengan defeksi. Diare terjadi pada 90% pasien. Jaringan parut dan pembentukan granuloma mempengaruhi kemampuan usus untuk mentraspor produk dari pencernaan usus atas melalu lumen yang terkonstriksi, mengakibatkan nyeri abdomen berupa kram. Gerakan peristaltik usus dirangsang oleh makan sehingga nyeri kram terjadi setelah makan. Untuk menghindari nyeri kram ini, pasien cenderung untuk membatasi masukan makanan, mengurangi jumlah dan jenis makanan sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi. Akibatnya adalah penurunan berat badan, malnutrisi, anemia sekunder. Selain itu, pembentukan ulkus dilapisan membran usus dan ditempat terjadinya inflamasi akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke kolon dari usus yang tipis, bengkak, yang menyebabkan diare kronis. Kekurangan  nutrisi dapat terjadi akbiat absorbsi terganggu. Malabsorbsi terjadi sebagai akibat hilangnya fungsi penyerapan permukaan mukosa. Fenomena ini dapat mengakibatkan malnutrisi protein – kalori, dehidrasi dan beberapa kekurangan gizi.

E.    PENATALAKSANAAN
Tujuan tatalaksana penyakit corhn adalah :
a)     Mengobati penyakit aktif atau mempercepat remisi
b)     Mempertahankan remisi
c)     Mencegah relaps
d)     Memacu pertumbuhan  dan perkembangan
e)     Meningkatkan kualitas hidup    
Terapi penyakit corhn dibagi menjadi 4 kategori dasar yaitu farmakologis, nutrisi, bedah dan psikologis :
1)  Nutrisi
Penderita penyakit corhn mengalami defisiensi makronutrient, sehingga peran terapi nutrisi sangat penting. Penilaian status gizi dilakukan dengan mengukur berat badan, tinggi badan, data antropometri dan kadar protein serum. Deisiensi mineral dan vitamin (besi, asam folat, vitamin B12, kalsium, magnesium, seng) diterapi secara spesifik. Pada penderita corhn yang mengenai ileum terminal dan terjadi steatorkea, harus diberikan suplemen vitamin larut lemak, trigliserida rantai sedang dan vitamin B12 parenteral. Dukungan nutrisi intensif dapat mengakibatkan intake kalori terutama pada pasien malnutrisi atau gangguan pertumbuhan. Pemberian suplemen nutrisi yang cukup merupakan komponen penting dalam keberhasilan manajemen penyakit corhn pada anak. Tujuan utama dukungan nutrisi adalah koreksi dan pencegahan defisit nutrisi serta mengontrol gejala. Terapi nutrisi dibagi menjadi 3 bagian yaitu terapi primer, terapi tambahan dan persiapan pre operatif.:
§   Terapi primer : diet elemental dapat menurunkan inflamasi intestinal dengan menurunkan stimulasi antigen ke saluran pencernaan.
§   Terapi tambahan : dukungan nutrisi yang intensif dapat digunakan sebagai terapi tambahan terhadap farmakologis dalam beberapa keadaan klinis
§   Terapi pre operatif : perbaikan suatu defisiensi nutrisi multak dibutuhkan untuk persiapan operasi yang besar pada pasien Crohn
2)  Farmakologis
Beberapa kombinasi terapi dapat efektif dan mentebabkan remisi dari penyakit corhn. Setelah tercapai keadaan remisi maka dosis dapat diturunkan secara bertahap.
§  Kortikosteroid
Kortikosteroid secara signifikan efektif menybabkan remisi pada pasien penyakit crohn, baik pada usus halus maupun usus besar.
§  Sulfasalazin
Obat ini hanya efektif untuk penyakit crohn oada usus halus.
§  Antibiotika
Antibiotika spektrum luas sering dibutuhkan untuk mengobati abses intraabdominal yang merupakan salah satu manifestasi penyakit crohn. Kombinasi 3 macam obat sering digunakan yaitu ampisilin, gentamisin dan metronidazol.
3)  Terapi bedah
Lebih kurang 50 – 70% anak dengan penyakit crohn membutuhkan tindakan bedah dalam 10 – 15 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Tindakan bedah dilakukan bila gejala masih menetap meskipun telah mendapat terapi farmakologis, adanya komplikasi intestinal berupa obstruksi, abses intraabdominal, fistula enterofesicular, perdarahan serta perforasi.
4)  Terapi psikologis
Sangat penting memonitor secara psikologis dan sosial akibat dari penyakit crohn. Sering didapatkan keadaan gangguan psikologis, terutama depresi akibat penyakit kronis yang diderita.

F.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.   Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium adalah kadar hemoglobin, hematokrit, kadar besi serum untuk menilai kehilangan darah dalam usus, laju endap darah untuk menilai aktivitas inflamasi serta kadar alumin serum untuk status nutrisi, serta C reactive protein yang dapat dipakai juga sebagai parameter aktivitas penyakit
b.   Endoscopy
Penyakit crohn dapat bersifat transmural, segmental dan dapat terjadi disaluran cerna bagian atas, usus halus ataupun colon.
c.   Radiologi
Barium kontas ganda dapat memperlihatkan striktur, fistula, mukosa yang iregular, gambaran ulkus dan polip, ataupun perubahan distenbilitas lumen kolon berupa penebalan dinding usus. Peran Ct Scan dan ultrasonografi lebih banyak ditujukan pada penyakit crohn dalam mendeteksi adanya bases ataupu fistula.
d.   Histopatologi
Spesimen yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostik daripada spesimenyang diambil secara biopsi per – endoskopik. Terlebih lagi bagi penyakit crohn yang lesinya bersifat transmural sehingga tidak dapat dijangkau dengan teknik biopsi per-endoscopik. Gambaran khas untuk penyakit crohn adanya granuloma tuberculoid (terdapat 20 – 40% kasus) merupakan hal yang karakteristik disampung adanya infiltrasi sel makrofag dan limfosit di lamina profia serta ulserasi yang dalam.
e.   MRI
Dapat lebih unggul daripada Ct Scan dalam menunjukkan lesi panggul. Oleh karena kadar air diverensia, MRI dapat mebedakan peradangan aktif dari fibrosis dan dapat membedakan antara inflamasi serta lesi fibrostenosis penyakit crohn.
f.    Colonoscopy
Dapat membantu ketika barium enema satu kontras belum informatif dalam mengevalusia sebuah lesi kolon. Kolonoscopy berguna dalam memperoleh jaringan biopsi, yang membantu dalam diferensiasi penyakit lain, dalam evaluasi lesi masa, dan dalam pelaksanaan surveilans kanker. Colonoscopy juga memungkinkan mefisualisasi fibrosis striktur pada pasien dengan penyakit kronis. Selain itu, colonoscopy juga dapat digunakan dalam periode pasca operasi bedah untuk mengevaluasi anastomosis dan meprediksi kemungkinan kambuh klinis serta respon terhadap terapi pasca operasi.

G.   KOMPLIKASI
Terbentuknya usus halus secara menyeluruh dapat menimbulkan sindrom malabsorbsi, tetapi penyebab malabsorbsi yang paling sering pada penyakit crohn adalah iatrogenik. Reseksi berulang usus halus menimbulkan sindroma usus pendek dimana nutrisi yang ade kuat dipertahankan dengan pemberian melalui intra vena atau intra peritonial. Terjadinya fistula merupakan komplikasi tersering, penetrasi yang dalam oleh ulkus menimbulkan fistula diantara lengkung usus disekitarnya dan terutama setelah terapi bedah, menimbulkan fistula enterokutaneus. Sekitar 60% penderita mempunyai lesi anal. Ini meliputi tonjolan kecil pada kulit, fisura dan fistula ke kanalis anal atau kulit peri anal. Komplikasi akut seperti perforasi, perdarahan dan dilatasi toksik dapat terjadi tetapi jumlahnya lebih sedikit yang ditemukan pada penyakit corhn. Pada jangka panjang terdapat peningkatan resiko keganasan, terutaa pada usus halus. Amiloidisis sistemik jarang terjadi, suatu komplikasi jangka panjang yang diakibatkan oleh produksi amiloid protein A serum yang berlebihan (underwood,1999).
a.   Malnutrisi
Diperkirakan 85% penderita penyakit crohn mengalami kehilangan berat badan. Penyebab malnutrisi biasanya multifaktor, termasuk intake diet yang sub optimal, pengeluaran gastrointestinal yang berubah, malabsorbsi dan peningkatan kebutuhan akibat proses inflamasi. Anoereksia adalah tanda penting. Malabsorbsi komponen-komponen makanan dapat terlihat pada penyakit crohn. Malabsorbsi lemak dapat terjadi karena :
a)     Berkurangnya bile acid pool sekunder akibat mengabsorbsi asam empedu dari penyakit ileum atau akibat reseksi ileum.
b)     Meluasnya pada mukosa usus halus.
c)     Pertumbuhan berlebih bakteri pada daerah usus proximal.


b.   Gangguan pertumbuhan 
Keadaan malnutrisi kronik menyebabkan gangguan pertumbuhan linear dan perkembangan pubertas pada anak dengan penyakit crohn. Beberapa study telah melaporkan beberapa gangguan pertumbuhan pada penyakit crohn. Penelitian oleh Tjietjn dkk, pada 40 anak dengan penyakit crohn didapatkan adanya ganggguan pertumbuhan pada anak-anak tsb. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan memberikan konstribusi pada gangguan pertumbuhan anak dengan penyakit crohn. Malnutrisi kronis dapat menjadi penyebab penting terjadinya retardasi pertumbuhan.



B.   KONSEP KEPERAWATAN CHRON DISEASE
A.   PENGKAJIAN
1.      Riwayat Kesehatan
a.    Keluhan utama          
Sering merasa nyeri abdomen dan diare. Keluhan nyeri biasanya bersifat kronis yaitu berupa nyeri kram pada kuadran perumbilikal kanan bawah dan kondisi rasa sakit dapat mendahului diare, serta mungkin sebagian pasien melaporkan perasaan nyaman setelah buang air besar. Diare biasanya tanpa disertai darah dan sering terputus – putus atau tidak mau berkurang dengan melakukan defekasi. Akan tetapi, apabila usus besar yang terlibat, pasien dapat melaporkan nyeri perut difus serta dengan Bab lendir, darah atau nanah. Awalnya, halangan tersebut adalah peradangan sekunder edema dan spasme usus, kemudian bermanifestasi sebagai kembung dan sakit kram. Setelah menjadi kronis, lumen usus menyempit, pasien mungkin mengeluh sembelit dan kesukaran membuang air besar.
b.    Riwayat Penyakit Sekarang 
Didapat keluhan lainnya yang menyertai seperti peningkatan suhu tubuh, mual dan muntah, anoreksia, perasaan lemah dan penurunan nafsun makan.
c.    Riwayat Penyakit Dahulu     
Pengkajian predisposisi seperti genetik , lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, vascular dan faktor psikososial, termasuk merokok, kontrasepsi oral dan menggunakan obat anti inflamasi (OAINS) perlu didokumentasikan. Anamnesis penyakit sistemik seperti DM, hipertensi dan tuberkulosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian perioperatif.
2.      Pengkajian Psikososial
Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana pembedahan dan serta perlunya informasi sarana pembedahan.
3.      Pemeriksaan Fisik
a.    Keadaan umum : terlihat lemah dan kesakitan
b.    TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan diare, suhu badan pasien naik ≥38,5°C
c.    Head to toe
a)      Integumen : Kilit kering dan turgor tidak baik karena kekurangan nutrisi
b)      Abdomen
Inspeksi   : pasien mengalami nyeri tekan, kram
andomen, perut kembung, inspeksi dari daerah perinatal dapat mengungkapkan fistula, abses dan jaringan parut.
Auskultas : terdapat peningkatan bising usus karena pasien mengalami diare
Perkusi   : nyeri tekuk dan tympani karena adanya flatulen
Palpasi    : nyeri tekan abdomen, peningkatan suhu tubuh atau didapatkan adanya masaa pada abdomen. Turgor kulit >3 detik menandakan gejala dehidrasi
4.      Pemeriksaan Laboratorium
a.    Anemia disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk peradangan kroni, malabsorbsi besi, kehilangan darah kronis, dan malabsorbsi vitamin B12 atau folat
b.    Hipoalbuminemia, hipokolesterolemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia mencerminkan malabsorbsi
c.    Leukositosis disebabkan oleh peradangan kronis, abses atau pengobatan steroid

B.   DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.    Nyeri (00132) b.d iritasi nitestinal, kram abdomen dan respon pembedahan
2.    Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit  (00028) b.d pengeluaran cairan dari muntah yang berlebihan
3.    Resiko ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh (00002)b.d ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder akibat nyeri, ketidaknyamana lambung dan intestinal
4.    Resiko infeksi b.d adanya luka pasca bedah
5.    Ansietas b.d prognosis penyakit dan rencana pembedahan

C.    INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx.Keperawatan
Tujuan dan KH
Intervensi
Rasional
1.   Nyeri (00132) b.d iritasi nitestinal, kram abdomen dan respon pembedahan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah keperawatan nyeri dapat teratasi dengan KH sebagai berikut :
1.      Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang
2.      Ekspresi wajah pasien tenang dan rileks
3.      Dapat mengidentifikasi kegiatan yang dapat menambah atau mengurangi nyeri
4.      Pasien tidak gelisah
5.      Skala nyeri turun
0 – 4
a.  Kaji skala nyeri (0 – 4)









b.  Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi







c.  Istirahatkan pasien




d.  Ajarkan teknik distraksi


e.  manajemen pemberian diet dan menghindari agen iritan mukosa lambung





f.   kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antasida sesuai dosis
a.   perawat mengkaji tingkat nyeri dan dan kenyamanan pasien setelah penggunaan obat – obatan dan menghindari zat pengiritasi
b.   pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri
c.   istirahat secara fisiologis dapat menurunkan kebutuhan oksigen
d.   distraksi dapat menurunkan stim ulus internal
e.   dengan emnghindari makan dan minuman yang dapat mengiritasi mukosa lambung dapat menurunkan intensitas nyeri
f.    antasid untuk mempertahankan Ph lambung pada tingkat normal (4,5)
2.    Resiko ketidakseimbangan cairan (00028) b.d pengeluaran cairan dari muntah yang berlebihan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, masalah cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan KH sebagai berikut :
o membran mukosa lembab, turgor kulit normal
o TTV dalam batas normal
o Output >600ml/hari
o Laboratorium : nilai elektrolit normal









a.  Monitor TTV






b.  Monitor status cairan (membran mukosa, turgor kulit dan output urin)


c.  Kaji sumber kehilangan cairan


d.  Manajemen pemberian cairan













e.  Kolaborasi untuk pemberian diuresis
a.   Mengetahui keadaan umum pasien, hipotensi datap terjadi pada kondisi hipovolemia
b.   Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status cairan.
c.   Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya
d.   produksi urin. Monitor dilakukan dengan ketat pada produksi urin Kehilangan caairan dan muntah dapat disertai dengan keluarnya natrium per oral yang juga akan meningkatkan risiko gangguan elektrolit
e.   Intake dan output cairan setiap hari dipantau untuk mendeteksi tanda – tanda awal terjadinya dehidrasi
3.    Resiko ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh (00002)b.d ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder akibat nyeri, ketidaknyamana lambung dan intestinal
Setelah dilakukan keperawatan selama 3x24 jam, masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi dapat teratasi dengan KH sebagai berikut :
1.      Pasien dapat mempertahankan asupan status nutrisi yang adekuat
2.      Pernyataan motivasi yang kuat untuk meningkatkan kebutuhan nutrisinya
a.  Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, berat badan dan penurunan berat badan


b.  Fasilitasi pasien memperoleh diit biasa yang dikonsumsi pasien setiap hari


c.  Pantau intake dan output, anjurkan untuk timbang berat badan secara periodik


d.  Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan




e.  Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian ddit yang seimbang






f.   Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian anti muntah sesuai dosis
a.   Menetapkan derajad masalah untuk menetapkan pilihan intervensi yang tepat
b.   Memperhitungkan keinginan individu agar dapat memperbaiki nutrisi
c.   Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
d.   Menurunkan rasa tidak enak karena sisa makanan dan bau obat yang dapat merangsang pusat muntah
e.   Merencanakan deit dengan kandungan nutrisi yang adekuat untuk memenuhi pengingkatan kebutuhan energi dan kalori
f.    Meningkatkan rasa nyaman pada gastrointestinal dan meningkatkan keinginan intake nutriso dan cairan per oral
4.   Resiko infeksi b.d adanya luka pasca bedah
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, masalah keperawatan resti infeksi dapat teratasi dengan KH sebagai berikut :
o  Tanpa adanya infeksi dan tanda – tanda kemerahan setelah jahitan dilepas
o  TTV terutama suhu dalam batas normal
a.   Kaji TTV




b.   Kaji jenis pembedahan




c.   Lakukan perawatan luka pada hari ke dua pasca bedah






d.   Bersihkan luka pada saat setiap perawatan luka




e.   Tutup luka dengan kassa steril






f.    Berikan penkes kepada keluarga pasien dan pasien cara perawatan luka yang benar dan steril



g.   Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian anti infeksi sesuai dosis
a.    Suhu dapat ikut naik jika pasien terjadi inflamasi dan infeksi
b.    Menidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari tujuan yang diharapkan
c.    Perawatan luka sebaiknya tidak setiap hari untuk menurunkan kontak dengan luka yang dalam kondisi steril
d.    Pembersihan debridemen dapat mencegah kontaminasi kuman ke jaringan luar
e.    Penutupan secara menyeluruh dapat menghindari kontaminasi dari benda atau udara
f.     Pemberian penkes diharapkan bisa lenih memberikan pemenuhan informasi bagi keluarga
g.    Tindakan kolaborasi dilakukan dengan tujuan untuk lebih optimal dalam pengobatan
5.   Ansietas b.d prognosis penyakit dan rencana pembedahan
Setelah dilakukan keperawatan selama 3x24 jam, masalah keperawatan kecemasan dapat teratasi dengan KH sebagai berikut :
·      Pasien mampu mgnungkapkan perasaan kepada perawat
·      Pasien dapat mencatat penurunan kecemasan atau ketakutan
·      Pasien dapat rileks dan tidur dengan nyaman
a.  Monitor respon fisik, seperti kelelahan, perubahan tanda vital dan gerakan yang berulang – ulang





b.  Anjurkan pasien dan keluarga mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya




c.  Catat reaksi pasien atau keluarga. Berikan kesempatan utnuk mengungkapkan perasaannya



d.  Ajarka aktivitas pengalihan perhatian sesuai kemampuan individu seperti menulis, menonton tv, dll
a.   Digunakan untuk mengevaluasi derajad atau tingkat kesadaran, khusunya jika melakukan komunikasi verbal
b.   Memberikan kesempatan untuk berkosentrasi kejadian dari rasa takut, dan mengurangi cemas yang berlebihan
c.   Respon dari kecemasan anggota keluarga terhadap apa yang terjadi dapat disampaikan kepada perawat
d.   Sejumlah aktivitas atau ketrampilan dapat menurunkan tingkat kebosanan yang dapat menjadi stumulus kecemasan




C.   KONSEP MEDIS LEPTOSPIROSIS
1.    DEFINISI
Leptospirosis adalah suatu zoonosis yang disebabkan suatu mikroorganisme yaitu leptospira tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini juga dikenal dengan nama seperti mud fever, slim fever, swamp fever, autumnal fever, infectoius jaundice, field fever, cane cutler fever.

2.    ETIOLOGI
Penyakit yang terdapat di negara yang beriklim tropis. Berbagai subgroup yang masing- masing terbagi dalam atas :
1.  L icterohaemorhagiae dengan reservoire tikus (syndroma weil)
2.  L. canicola dengan reservoire anjing
3.  L pamona dengan reservoire sapi dan babi
Insiden :
Penyakit ini dapat berjangkit pada laki-laki dan perempuan pada semua umur.

3.    PATOFISIOLOGI
Manusia bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka/erosi dengan air, lumpur dan sebagainya yang telah tercemar oleh air kemih binatang yang terinfeksi leptospira. Leptospira yang masuk melalui kulit maupun selaput lendir yang luka/erosi akan menyebar ke organ-organ dan jaringan tubuh melalui darah. Sistem imun tubuh akan berespon sehingga jumlah laptospira akan berkurang, kecuali pada ginjal yaitu tubulus dimana kan terbentuk koloni-koloni pada dinding lumen yang mengeluarkan endotoksin dan kemudian dapat masuk ke dalam kemin.
Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebar ke seluruh jaringan tubuh. Masa inkubasinya sekitar 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari. Klinis leptospirosis dibagi menjadi dua fase (bifasik), yaitu fase leptospiremia (fase akut/fase septikemi) serta fase imun. Fase leptospiremia ditandai dengan adanya leptospira dalam darah dan cairan cerebrospinal, yang berlangsung kira-kira 1 minggu (4-7 hari).
Lalu setelah agglutinin terbentuk, leptospira akan cepat menghilang dari sirkulasi, yang kemudian dilanjutkan dengan fase imun. Pada fase ini, leptospira dijumpai di jaringan ginjal dan okuler, sehingga fase imun selain ditandai dengan peningkatan produksi antibody, juga ditandai dengan ekskresi leptospira ke dalam urin (leptospuria).  Leptospirosis dapat dijumpai dalam urin sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi, berbulan – bulan, bahkan bertahun – tahun kemudian. Kebanyakan komplikasi yang terjadi pada leptospirosis berhubungan dengan lokasi leptospira pada jaringan selama fase imun, yaitu mulai minggu ke 2 pada perjalanan penyakit.

4.    MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas berkisar antara 2-26 hari(kebanyakan 7-13 hari) rata-rata 10 hari.
Pada leptospira ini ditemukan perjalanan klini sbifasik :
1.  Leptopiremia (berlangsung 4-9 hari)
Timbul demam mendadak, diserta sakit kepala (frontal, oksipital atau bitemporal). Pada otot akan timbul keluhan mialgia dan nyeri tekan (otot gastronemius, paha pinggang,) dandiikuti heperestesia kulit. Gejala menggigil dan demam tinggi, mual, muntah, diare, batuk, sakit dada, hemoptisis, penurunan kesadaran, dan injeksi konjunctiva. Injeksi faringeal, kulit dengan ruam berbentuk makular/makolupapular/urtikaria yang tersebar pada badan, splenomegali, dan hepatomegali.

2.  Fase imun (1-3 hari)
Fase imun yang berkaitan dengan munculnya antibodi IgM sementara konsentrasi C­3, tetap normal. Meningismus, demam jarang melebihi 39oC. Gejala lain yang muncul adalah iridosiklitis, neuritis optik, mielitis, ensefalitis, serta neuripati perifer.

3.  Fase penyembuhan (minggu ke-2 sampai minggu ke-4)
Dapat ditemukan adanya demam atau nyeri otot yang kemudian berangsur-angsur hilang.



PATOGENESIS LEPTOSPIROSIS
Bagaimana infeksi leptospira menimbulkan penyakit, belum diketahui dengan jelas. Berikut beberapa patogenesis yang mungkin terjadi dalam infeksi leptospirosis         (Levett, 2001) :
·       Produksi toksin
Beberapa serovar leptospira patogen mampu memproduksi toksin. Beberapa endotoksin yang diproduksi diantaranya hemolisin, sphingomyelinase, phospholipase C. Selain itu beberapa serovar juga memproduksi protein cytotoxin yang mampu menghambat Na-K ATPase.
·       Attachment (perlekatan)
Leptospira mengadakan perlekatan pada sel epitelial, diantaranya melekat pada sel epital renalis dan perlekatan ini dibantu oleh konsentrasi subagglutinasi dari antibodi homolog. Selain itu lipopolisakarida (LPS) leptospira merangsang perlekatan netrofil ke sel endotel dan platelet, menimbulkan aggregasi platelet dan menyebabkan trombositopenia.
·       Surface protein
Membran terluar dari leptospira tersusun oleh LPS dan beberapa lipoprotein (Outer Membran Proteins / OMPs). LPS bersifat sangat immunogenik dan menentukan spesifisitas masing-masing serovar. Keduanya, baik LPS maupun OMPs, penting dalam patogenesis dari nefritis interstitiil.
ASPEK IMMUNOLOGIS LEPTOSPIROSIS
Imunitas terhadap leptospirosis dirangsang oleh beberapa antigen diantaranya yaitu antigen serovar spesifik yang diekstraksi dari LPS leptospira, antigen serupa yang mampu menghambat aglutinasi oleh antisera homolog, serta ekstrak sodium dodecyl sulphate yang terdapat pada seluruh dinding sel leptospira yang juga mampu merangsang pembentukan antibodi, yamg mana antibodi yang terbentuk juga berefek aglutinasi dan mengikat komplemen. Imunitas yang terbentuk berpengaruh kuat merestriksi serovar homolog atau yang mirip dengan itu.
Immunitas terhadap leptospirosis terutama merupakan imunitas humoral, namun imunitas seluler juga turut berperan dalam immunopathogenesis leptospirosis. Mobilitas respon imun seluler terjadi terutama pada fase initial infeksi, yaitu 7 hari setelah inokulasi. Respon imun selluler yang terjadi berupa opsonisasi makrofag dan aktifasi netrofil. Secara simultan, bakteri akan mulai menghilang dari sirkulasi seiring dengan terbentuknya antibodi, dan respon imun seluler akan mulai digantikan dengan imunitas humoral, yang mengindikasikan bahwa dimungkinkan terdapat faktor inhibitor yang menyebabkan penekanan terhadap respon imun seluler.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penekanan respon imun selluler tersebut ditandai penurunan jumlah limfosit CD4+  dan responnya terhadap sejumlah mitogen. Respon imun humoral ditandai dengan terbentuknya antibodi dan beberapa sitokin (IL-6, TNF-α dan transforming growth factor-β1 (TGF- β1)), nitrit oxide (NO) dan H2O2. Berdasarkan antibodi yang diproduksi, dibagi menjadi dua strain, yaitu strain Low (L) dan High (H). Strain H menunjukkan tendensi yang lebih tinggi terhadap respon Th2, dengan produksi antibodi yang lebih besar, lesi jaringan yang lebih luas serta adanya sintesis IL-4. Strain L menunjukkan respon Th1, dengan produksi yang besar dari interferon (IFN), serta aktivasi makrofag.
Reaksi imunologis terhadap leptospirosis merupakan salah satu faktor yang memperberat infeksi leptospirosis yang terjadi. Kompleks imun yang diproduksi menyebabkan inflamasi setempat termasuk di sistem saraf pusat. Jumlah kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sebanding dengan berat-ringannya klinis infeksi leptospirosis yang muncul, sedangkan pada pasien yang mampu bertahan, perbaikan klinis yang terjadi sebanding dengan penurunan jumlah kompleks imun di sirkulasi. Berdasarkan beberapa penelitian, antigen leptospira terlokalisasi di sel interstitium ginjal, sedangkan immunoglobulin G serta C­­­3 terdeposit di glomerolus dan dinding pembuluh darah kecil.
Selain itu, antibodi leptospira yang diproduksi dapat menimbulkan cross reaction dengan jaringan setempat, seperti pada mata, sehingga menimbulkan uveitis. Kerusakan retina dapat pula terjadi sehubungan dengan terdapatnya limfosit B di retina. Pada leptospirosis dapat juga terbentuk antibodi antiplatelet. Antibodi tersebut melawan cryptantigen yang dipaparkan oleh platelet yang rusak. Selain itu, outoantibodi yang lain juga dapat ditemukan, diantaranya anticardiolipin antibodi serta antineutrofil citoplasmic antibodi. Leptospira yang virulen juga mampu merangsang munculnya apoptosis. Apoptosis yang terjadi muncul akibat induksi TNF-α oleh LPS leptospira. Peningkatan jumlah sitokin inflamasi seperti TNF-α ditemukan dalam infeksi leptospirosis.

5.    PENATALAKSANAAN
Obat antibiotika yang biasa diberikan adalah penisillin, strptomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan siproflokasasin. Obat pilihan utama adalah penicillin G 1,5 juta unit setiap 6 jam selama 5-7 hari. Dalam 4-6 jam setelah pemeberian penicilin G terlihat reaksi Jarisch Hecheimmer yang menunjukkan adanya aktivitas antileptospira> obat ini efektif pada pemberian 1-3 hari namun kurnag bermanfaat bila diberikan setelah fase imun dan tidak efektif jika terdapat ikterus, gagal ginjal dan meningitis. Tindakan suporatif diberikan sesuai denan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul.



6.    KOMPLIKASI
Pada leptospira, komplikasi yang sering terjadi adalah iridosiklitis, gagal ginjal, miokarditis, meningitis aseptik dan hepatitis. Perdarahan masif jarang ditemui dan bila terjadi selalu menyebabkan kematian.

7.    PENCEGAHAN
Ø Membiasakan diri dengan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
Ø Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus
Ø Mencuci tangan, dengan sabun sebelum makan
Ø Mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah/ kebun/ sampah/ tanah/ selokan dan tempat tempat yang tercemar lainnya.
Ø  Melindungi pekerja yang beresiko tinggi terhadap Leptospirosis (petugas kebersihan, petani, petugas pemotong hewan dan lain lain) dengan menggunakan sepatu bot dan sarung tangan.
Ø  Menjaga kebersihan lingkungan
Ø  Menyediakan dan menutup rapat tempat sampah
Ø  Membersihkan tempat tempat air dan kolam kolam renang.
Ø  Menghindari adanya tikus didalam rumah atau gedung.
Ø  Menghindari pencemaran oleh tikus.
Ø  Melakukan desinfeksi terhadap tempat tempat tertentu yang tercemar oleh tikus.
Ø  Meningkatkan penangkapan tikus

8.    PENGOBATAN
Pengobatan kasus leptospirosis masih diperdebatkan. Sebagian ahli mengatakan bahwa pengobatan leptospirosis hanya berguna pada kasus ­ kasus dini (early stage)atau fase awal sedangkan pada fase ke dua atau fase imunitas (late phase) yang paling penting adalah perawatan.


Tujuan pengobatan dengan antibiotik adalah:
1.    Mempercepat pulih ke keadaan normal
2.    Mempersingkat lamanya demam
3.    Mempersingkat lamanya perawatan
4.    Mencegah komplikasi seperti gagal ginjal (leptospiruria)
5.    Menurunkan angka kematian
9.    Penyimpangan KDM


D.   KONSEP KEPERAWATAN LEPTOSPIROSIS
1.  PENGKJIAN
a.    Identitis
Keadaan umum klien seperti umur dan imunisasi., laki dan perempuan tingkat kejadiannya sama.

b.    Keluhan utama
Demam yang mendadak : Timbul gejala demam yang disertai sakit kepala, mialgia dan nyeri tekan (frontal) mata merah, fotofobia, keluahan gastrointestinal. Demam disertai mual, muntah, diare, batuk, sakit dada, hemoptosis, penurunan kesadaran dan injeksi konjunctiva. Demam ini berlangsung 1-3 hari.

c.    Riwayat keperawatan
1.  Imunisasi, riwayat imunisasi perlu untuk peningkatan daya tahan tubuh
2.  Riwayat penyakit, influenza, hapatitis, bruselosis, pneuma atipik, DBD, penyakit susunan saraf akut, fever of unknown origin.
3.  Riwayat pekerjaan klien apakah termasuk kelompok orang resiko tinggi seperti bepergian di hutan belantara, rawa, sungai atau petani.
4.  Pemeriksaan dan observasi
a.    Fisik
Keadaan umum, penurunan kesadaran, lemah, aktvivitas menurun Review of sistem :
Ø  Sistem pernafasan : Epitaksis, penumonitis hemoragik di paru, batuk, sakit dada.
Ø  Sistem cardiovaskuler : Perdarahan, anemia, demam, bradikardia.
Ø  Sistem persyrafan : Penuruanan kesadaran, sakit kepala terutama dibagian frontal, mata merah.fotofobia, injeksi konjunctiva,iridosiklitis
Ø  Sistem perkemihan : Oligoria, azometmia,perdarahan adernal
Ø  Sistem pencernaan : Hepatomegali, splenomegali, hemoptosis, melenana
Ø  Sistem muskoloskletal : Kulit dengan ruam berbentuk makular/makulopapular/urtikaria yang teresebar pada badan. Pretibial.
b.      Laboratorium
Ø  Leukositosis normal, sedikit menurun,
Ø  Neurtrofilia dan laju endap darah (LED) yang meninggiu
Ø  Proteinuria, leukositoria
Ø  Sedimen sel torak
Ø  BUN , ureum dan kreatinin meningkat
Ø  SGOT meninggi tetapi tidak melebihi 5 x normal
Ø  Bilirubin meninggi samapai 40 %
Ø  Trombositopenia
Ø  Hiporptrombinemia
Ø  Leukosit dalam cairan serebrospinal 10-100/mm3
Ø  Glukosa dalam CSS Normal atau menurun

2.    DIAGNOSA
1.      Ansietas b/d perubahan kesehatan (penyakit leptospirosisi) ditandai dengan peningkatan tegangan, kelelahan, mengekspresikan kecanggungan peran, perasaan tergantung, tidak adekuat kemampuan menolong diri, stimulasi simpatetik.
2.      Nyeri (akut) b/d proses penyakit (penekanan/kerusakan jaringan syaraf, infiltrasi sistem suplay syaraf,  syaraf, inflamasi), ditandai dengan klien mngatakan nyeri, klien sulit tidur, tidak mampu memusatkan perhatian, ekspresi nyeri, kelemahan.
3.      Ketidakseibangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake kurang ditandai dengan klien mengatakan intake tidak adekuat, hilangnya rasa kecap, kehilangan selera, nausea dan vomitng, berat badan turun sampai 20% atau lebih dibawah ideal, penurunan massa otot dan lemak subkutan,
4.      Resiko kerusakan integritas kulit b/d  efek kerja penyakitnya deficit imunologik, penurunan intake nutrisi dan anemia.
5.      Kurangnya pengetahuan b/d kurangnya informasi, misinterpretasi, keterbatasan kognitif ditandai dengan sering bertanya, menyatakan masalahnya, pernyataan miskonsepsi, tidak akurat dalam mengikiuti intruksi/pencegahan komplikasi.


3.    INTERVENSI
1.    Ansietas b/d perubahan kesehatan (penyakit leptospirosisi) ditandai dengan peningkatan tegangan, kelelahan, mengekspresikan kecanggungan peran, perasaan tergantung, tidak adekuat kemampuan menolong diri, stimulasi simpatetik.
Tujuan :
ü  Klien dapat mengurangi rasa cemasnya
ü  Rileks dan dapat melihat dirinya secara obyektif.
ü  Menunjukkan koping yang efektif serta mampu berpartisipasi dalam pengobatan.

INTERVENSI
RASIONAL
1.    Tentukan pengalaman klien sebelumnya terhadap penyakit yang dideritanya.

2.    Berikan informasi tentang prognosis secara akurat.

3.    Beri kesempatan pada klien untuk mengekspresikan rasa marah, takut, konfrontasi. Beri informasi dengan emosi wajar dan ekspresi yang sesuai.
4.    Jelaskan pengobatan, tujuan dan efek samping. Bantu klien mempersiapkan diri dalam pengobatan.
5.    Catat koping yang tidak efektif seperti kurang interaksi sosial, ketidak berdayaan dll.


6.    Anjurkan untuk mengembangkan interaksi dengan support system.
7.    Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman.
8.    Pertahankan kontak dengan klien, bicara dan sentuhlah dengan wajar.
1.    Data-data mengenai pengalaman klien sebelumnya akan memberikan dasar untuk penyuluhan dan menghindari adanya duplikasi.
2.    Pemberian informasi dapat membantu klien dalam memahami proses penyakitnya.
3.    Dapat menurunkan kecemasan klien.


4.    Membantu klien dalam memahami kebutuhan untuk pengobatan dan efek sampingnya.


5.    Mengetahui dan menggali pola koping klien serta mengatasinya/memberikan solusi dlm upaya meningkatkan kekuatan dlm mengatasi kecemasan.
6.    Agar klien memperoleh dukungan dari orang yang terdekat/keluarga.

7.    Memberikan kesempatan pada klien untuk berpikir/merenung/istirahat.
8.    Klien mendapatkan kepercayaan diri dan keyakinan bahwa dia benar-benar ditolong.

2.    Nyeri (akut) b/d proses penyakit (penekanan/kerusakan jaringan syaraf, infiltrasi sistem suplay syaraf,  syaraf, inflamasi), ditandai dengan klien mngatakan nyeri, klien sulit tidur, tidak mampu memusatkan perhatian, ekspresi nyeri, kelemahan.
Tujuan :
ü  Klien mampu mengontrol rasa nyeri melalui aktivitas
ü  Melaporkan nyeri yang dialaminya
ü  Mengikuti program pengobatan
ü  Mendemontrasikan tehnik relaksasi dan pengalihan rasa nyeri melalui aktivitas yang    mungkin

INTERVENSI
RASIONAL
1.    Tentukan riwayat nyeri, lokasi, durasi dan intensitas

2.    Evaluasi therapi: pembedahan, radiasi, khemotherapi, biotherapi, ajarkan klien dan keluarga tentang cara menghadapinya
3.    Berikan pengalihan seperti reposisi dan aktivitas menyenangkan seperti mendengarkan musik atau nonton TV (distraksi)
4.    Menganjurkan tehnik penanganan stress (tehnik relaksasi, visualisasi, bimbingan), gembira, dan berikan sentuhan therapeutik.
5.    Evaluasi nyeri, berikan pengobatan bila perlu.



6.    Diskusikan penanganan nyeri dengan dokter dan juga dengan klien
7.    Berikan analgetik sesuai indikasi seperti morfin, methadone, narkotik dll
1.    Memberikan informasi yang diperlukan untuk merencanakan asuhan.
2.    Untuk mengetahui terapi yang dilakukan sesuai atau tidak, atau malah menyebabkan komplikasi.


3.    Untuk meningkatkan kenyamanan dengan mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri.


4.    Meningkatkan kontrol diri atas efek samping dengan menurunkan stress dan ansietas.

5.    Untuk mengetahui efektifitas penanganan nyeri, tingkat nyeri dan sampai sejauhmana klien mampu menahannya serta untuk mengetahui kebutuhan klien akan obat-obatan anti nyeri.
6.    Agar terapi yang diberikan tepat sasaran.

7.    Untuk mengatasi nyeri.

3.    Ketidakseibangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake kurang ditandai dengan klien mengatakan intake tidak adekuat, hilangnya rasa kecap, kehilangan selera, nausea dan vomitng, berat badan turun sampai 20% atau lebih dibawah ideal, penurunan massa otot dan lemak subkutan.
Tujuan :
ü  Klien menunjukkan berat badan yang stabil, hasil lab normal dan tidak ada tanda malnutrisi
ü  Menyatakan pengertiannya terhadap perlunya intake yang adekuat
ü  Berpartisipasi dalam penatalaksanaan diet yang berhubungan dengan penyakitnya

INTERVENSI
RASIONAL
1.  Monitor intake makanan setiap hari, apakah klien makan sesuai dengan kebutuhannya.
2.  Timbang dan ukur berat badan, ukuran triceps serta amati penurunan berat badan.
3.  Kaji pucat, penyembuhan luka yang lambat dan pembesaran kelenjar parotis.
4.  Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori dengan intake cairan yang adekuat. Anjurkan pula makanan kecil untuk klien.
5.  Kontrol faktor lingkungan seperti bau busuk atau bising. Hindarkan makanan yang terlalu manis, berlemak dan pedas.


6.  Ciptakan suasana makan yang menyenangkan misalnya makan bersama teman atau keluarga.
7.  Anjurkan tehnik relaksasi, visualisasi, latihan moderate sebelum makan.
8.  Kolaboratif : Amati studi laboraturium seperti total limposit, serum transferin dan albumin
1.    Memberikan informasi tentang status gizi klien.

2.    Memberikan informasi tentang penambahan dan penurunan berat badan klien.
3.    Menunjukkan keadaan gizi klien sangat buruk.

4.    Kalori merupakan sumber energi.




5.    Mencegah mual muntah, distensi berlebihan, dispepsia yang menyebabkan penurunan nafsu makan serta mengurangi stimulus berbahaya yang dapat meningkatkan ansietas.
6.    Agar klien merasa seperti berada dirumah sendiri.

7.    Untuk menimbulkan perasaan ingin makan/membangkitkan selera makan.

8.    Untuk mengetahui/menegakkan terjadinya gangguan nutrisi sebagi akibat perjalanan penyakit, pengobatan dan perawatan terhadap klien.

4.    Resiko kerusakan integritas kulit b/d  efek kerja penyakitnya deficit imunologik, penurunan intake nutrisi dan anemia.
Tujuan :
ü  Klien dapat mengidentifikasi intervensi yang berhubungan dengan kondisi spesifik
ü  Berpartisipasi dalam pencegahan komplikasi dan percepatan penyembuhan

INTERVENSI
RASIONAL
1.    Monitor perkembangan kerusakan  integritas kulit untuk melihat adanya efek kerusakan kulit
2.    Anjurkan klien untuk tidak menggaruk bagian yang gatal.
3.    Ubah posisi klien secara teratur.


4.    Berikan advise pada klien untuk menghindari pemakaian cream kulit, minyak, bedak tanpa rekomendasi dokter.
1.    Memberikan informasi untuk perencanaan asuhan dan mengembangkan identifikasi awal terhadap perubahan integritas kulit.
2.    Menghindari perlukaan yang dapat menimbulkan infeksi.
3.    Menghindari penekanan yang terus menerus pada suatu daerah tertentu.
4.    Mencegah trauma berlanjut pada kulit dan produk yang kontra indikatif

5.    Kurangnya pengetahuan b/d kurangnya informasi, misinterpretasi, keterbatasan kognitif ditandai dengan sering bertanya, menyatakan masalahnya, pernyataan miskonsepsi, tidak akurat dalam mengikiuti intruksi/pencegahan komplikasi.
Tujuan :
ü  Klien dapat mengatakan secara akurat tentang diagnosis dan pengobatan pada ting-katan siap.
ü  Mengikuti prosedur dengan baik dan menjelaskan tentang alasan mengikuti prosedur  tersebut.
ü  Mempunyai inisiatif dalam perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam pengo-  batan.
ü  Bekerjasama dengan pemberi informasi.



INTERVENSI
RASIONAL
1.    Review pengertian klien dan keluarga tentang diagnosa, pengobatan dan akibatnya.
2.    Tentukan persepsi klien tentang kanker dan pengobatannya, ceritakan pada klien tentang pengalaman klien lain yang menderita kanker.
3.    Beri informasi yang akurat dan faktual. Jawab pertanyaan secara spesifik, hindarkan informasi yang tidak diperlukan.
4.    Berikan bimbingan kepada klien/keluarga sebelum mengikuti prosedur pengobatan, therapy yang lama, komplikasi. Jujurlah pada klien.
5.    Anjurkan klien untuk memberikan umpan balik verbal dan mengkoreksi miskonsepsi tentang penyakitnya.
6.    Review klien /keluarga tentang pentingnya status nutrisi yang optimal.
7.    Anjurkan klien untuk mengkaji membran mukosa mulutnya secara rutin, perhatikan adanya eritema, ulcerasi.


8.    Anjurkan klien memelihara kebersihan kulit dan rambut.
1.      Menghindari adanya duplikasi dan pengulangan terhadap pengetahuan klien.
2.      Memungkinkan dilakukan pembenaran terhadap kesalahan persepsi dan konsepsi serta kesalahan pengertian.

3.      Membantu klien dalam memahami proses penyakit.


4.      Membantu klien dan keluarga dalam membuat keputusan pengobatan.



5.      Mengetahui sampai sejauhmana pemahaman klien dan keluarga mengenai penyakit klien.

6.      Meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga mengenai nutrisi yang adekuat.
7.      Mengkaji perkembangan proses-proses penyembuhan dan tanda-tanda infeksi serta masalah dengan kesehatan mulut yang dapat mempengaruhi intake makanan dan minuman.
8.      Meningkatkan integritas kulit dan kepala.
4.    IMPLEMENTASI
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien

5.    EVALUASI
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi dan analisa masalah selanjutnya


BAB III
PENUTUP

1.    KESIMPULAN
Enteritis regional,ileokolitis, atau penyakit crohn merupakan suatu penyakit peradangan granulomaltosa kronis pada saluran cerna yang sering terjadi berulang. Secara klasik penyakit ini menganai ileum terminalis, walaupun dapat juga mengenai setiap saluran cerna.
Etiologi enteritis regional tidak diketahui. Walaupun tidak ditemukan adanya autoantibodi, enteritia regional diduga marupakan suatu reaksi hipersensitivitas atau mungkin disebabkan oleh agen infektif hyang belum diketahui. Teori-teori ini dikemukakan karena adanya lesi-lesi granulomatosa yang mirip dengan lesi-lesi yang ditemukan pada lesi jamur dan tuberkolosis paru.
Manifestasi klinis yaitu:
·      Diari
·      Nyeri abdomen
·      Malaise
·      Penurunan berat badan
·      Kehilangan nafsu makan Mual, muntah
·      Demam( peningkatan suhu tubuh)
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira pathogen dan digolongkan sebagi zoonosis yaitu penyakit hewan yang bisa menjangkiti manusia. Hewan yang paling banyak mengandung bakteri leptospira ini (resevoir) adalah hewan pengerat dan tikus. Penyakit leptospirosis mungkin banyak terdapat di Indonesia terutama di musim penghujan.
Penularan dari hewan ke manusia dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung, sedangkan penularan dari manusia ke manusia sangat jarang. Pengobatan dengan antibiotik merupakan pilihan terbaik pada fase awal ataupun fase lanjut (fase imunitas). Selain pengobatan antibiotik, perawatan pasien tidak kalah pentingnya untuk menurunkan angka kematian. Angka kematian pada pasien leptospirosis menjadi tinggi terutama pada usia lanjut, pasien dengan ikterus yang parah, gagal ginjal akut, gagal pernafasan akut.

2.    SARAN
Semoga dalam pembuatan makalah ini kami sebagai penyusun makalah serta para pembaca lebih dapat memahami apa penyakit Crohn itu dan berbagai hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut, seta dapat memberikan asuhan keperawatan terhadap penyakit ini dengan tepat. Pada akhirnya saran beserta kritik kami harapkan guna  penyempurnaan makalah selanjutnya, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amin
Ø  Pada orang berisiko tinggi terutama yang bepergian ke daerah berawa-rawa dianjurkan untuk menggunakan profilaksis dengan doxycycline.
Ø  Masyarakat terutama di daerah persawahan, atau pada saat banjir mungkin ada baiknya diberi doxycycline untuk pencegahan.
Ø  Para klinisi diharapkan memberikan perhatian pada leptospirosis ini terutama di daerah-daerah yang sering mengalami banjir.
Ø  Penerangan tentang penyakit leptospirosis sehingga masyarakat dapat segera menghubungi sarana kesehatan


DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T. Heather. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Ahli Bahasa : Made Sumaryati, Nike Budhi Subekti ; Editor Edisi Bahasa Indonesia : Barrarah Barlid, Monica Ester, Wari Praptiani. Jakarta : EGC, 2012.

Wilkinson, Judith M. Buku Saku Diagnosa Keperawatan : Diagnosa NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Alih Bahasa : Esty Wahyuningsih ; Editor edisi  Bahasa Indonesia : Dwi Widiarti. Ed. 9. Jakarta : EGC.

Prasetiyawan, Fandik. 2014. Diaskes at blogspot 03 Maret 2014 (http://fandik-prasetiyawan.blogspot.com/)

Lestari. Kamus Keperawatan. Penerbit : Buana Press

Donna,D.I.Etal.1995.medikal surgical nursing

A nursing process Approach 2 nd edition : WSB auders

FKUA,1984.pedoman diagnosis dan ilmu penyakit dalam. FKUA. Surabaya

Syilviana.1996.kapitalselekta kedokteran buku I.EGC.jakarta