
Sevana
Ch Mayaut (P1207027) Maria
Immaculata C. B (P1207022)
Fatry
Darmansyah (P1207008) Irmawati
M (P1207017)
Valentina
Rumlus (P1207029) Kristina
Vinolia Febriana (P1207020)
Hendranus
Suprianto (P1207013) Krispinus
Daru (P1207021)
Zainudin
Pattiiha (P1207033) Fredyrikus Carlokum (P1207010)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesehatan serta kelancaran dalam menyelesainkan tugas ini tepat
waktu dan sesuai dengan yang diharapkan.
Makalah ini membahas tentang “Konsep Medis dan Konsep
Keperawatan Gangguan Intestinal” dan penyakit atau masalah yang diangkan adalah
pada pasien dengan Hepatitis Chron Diseases dan Leptospiosis. Makalah ini disusun
sebagai tugas mata kuliah Keperawatan.
Penyusun mendapat beberapa literatur yang berhubungan dengan
pokok pemasalahan dalam model konsep keperawatan ini. Semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan para pembaca. Dan kritik serta saran selalu kami tunggu
guna kesempurnaan makalah selanjutnya.
Makassar, 06 Maret 2014
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Leptospirosis
adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan yang
disebabkan kuman leptospira pathogen dan digolongkan sebagi zoonosis yaitu
penyakit hewan yang bisa menjangkiti manusia. Gejala klinis leptopirosis mirip
dengan penyakit infeksi lainnya seperti influenza, meningitis, hepatitis, demam
dengue demam berdarah dan demam virus lainnya. Sehingga seringkali tidak
terdiagnosis.
Leptospira
berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air tawar
selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut, selokan
dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Leptospira bisa terdapat
pada hewan piaraan maupun hewan liar. Leptospirosis dapat berjangkit pada
laki-laki maupun wanita semua umur tetapi kebanyakan mengenai laki-laki dewasa
muda (50% kasus umumnya berusia antara 10-39 tahun diantaranya 80% laki-laki).
Angka kematian akibat penyakit yang disebabkan bakteri lepstopira tergolong
cukup tinggi bahkan untuk penderita yang berusia lebih dari 50 tahun malah kematiannya
bisa mencapai 56% (Masniari poengan, peneliti dari Balai Besar Penelitian
Veteriner, Bogor 2007).
Di Amerika Serikat tercatat sebanyak 50-150 kasus leptospirosis setiap
tahun sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Salah satu daerah di Indonesia merupakan daerah endemik Leptospirosis yaitu
di Guilan Provinsi di utara di Iran. Karena diagnosa
Leptospirosis berdasarkan gejala klinis sangat sulit karena kurangnya
karakteristik pathogonomic, dukungan laboratorium diperlukan. Angka kejadian penyakit leptospirosis di
Provinsi Guilan Iran Utara cukup tinggi terutama pada daerah Rasht. Pada daerah
tersebut terdapat 233 kasus Leptospirosis dari keseluruhan kasus yang berjumlah
769.
Penyakit
crohn (PC) merupakan suatu penyakit kronis, transmural dan proses
inflamasinyadapat mengenai berbagai segmen saluran cerna mulai dari mulut
sampai anus. Penyakit crohnmerupakan satu dari dua kelainan utama inflammatory
bowel disease. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada orang berkulit putih,
mengenai pria dan wanita sama banyak. Sekitar 25% kasusbaru PC terjadi pada
usia <20 tahun.
Puncak
insiden PC muncul pada dekade 2 dan 3 kehidupan,kurang dari 5% kasus anak
terjadi pada usia di bawah 5 tahun. Pada
tahun 1932, Chorn, Ginzberg dan Oppenheimer mendeskripsikan penyakit Chorn
dengan melokalisasi segmen ileum dan mempengaruhi gastrointestinal lainnya.
Kondisi ini kemudian di dokumentasikan bahwa enteritis regional bisa melibatkan
bagian manapun dari saluran gastrointrstinal.
Di
Amerika Serikat prevalensi enteritis regional adalah sekitar 7 kasus per
100.000 penduduk. Insiden dan prevalensi enteritis regional atau terutama colon
tampaknya terus meningkat selama 5 dekade terkhir, terutama dibagian iklim
utara. Tingkat insiden di Eropa berkisar 0,7 – 9,8 kasus per 100.000 orang, di
Asia berkisar 0,5 – 4,2 per 100.000, dan tingkat kasus baru yang terendah
muncul di Afrika Selatan (0,3 – 2,6 per 100.000) dan Amerika Latin (0 – 0,03
per 100.000) (Arif Muttaqin, 2001).
B. Tujuan
1. Konsep Medis dari Penyakit Chron Disease dan Leptospirosis berupa:
2. Konsep keperawatan dari penyakit
Chron Disease dan Leptospirosis berupa :
BAB II
TINJAUAN USTAKA
TINJAUAN USTAKA
A. KONSEP MEDIS CHRON DISEASE
1.
Konsep
medis
A. Defenisi
Crohn's disease merupakan bagian
dari Inflammatory bowel disease. Inflammatory bowel disease (IBD) adalah
sejenis penyakit idiopatik, disebabkan oleh imunasi badan terhadap usus
sendiri.Inflamasi ini adalah kronic dan dihasilkan daripada ketidaksesuaian dan
keaktifan imunasi mucosa yang berpanjangan disebabkan oleh kehadiran flora
lumen yang biasa.
Enteritis regional atau lebih
dikenal dengan penyakit Crohn adalah suatu penyakit idiopatik dan kronis dengan
proses peradangan pada intestinal yang sering menyebabkan fibrosis dan gejala
obstruktif, yang dapat mempengaruhi bagian manapun dari saluran
gastrointestinal dari mulut ke anus (Arif Muttaqin, 2001).
Penyakit crohn adalah proses
peradangan kronis transmural yang dapat ditemukan di salah satubagian dari saluran
pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Penyakit crohn merupakan satu dari dua kelainan utama inflammatory bowel
disease (IBD). Penyakit crohn dapat mengenai bagian manapun dari saluran cerna,
tidak hanya regional, merupakan penyakit multi sistem dengan manifestasi pada
kulit dan membran mukosa (Arif Muttaqin, 2001).
Penyakit Crohn adalah radang kronis
dengan etiologi yang tidak diketahui, pada usus halus sering terkena tetapi
dapat mengenai seluruh bagian usus, ditandai secara khas oleh radang transmural
dengan granuloma. Usus yang menebal dan fisura akan menyebabkan obtruksi
intestinal dan fistulasi (Underwood, 1999 : 452).
Penyakit Crohn adalah penyakit
inflamasi kronis di usus yang ditandai dengan peradangan di semua saluran
gastrointestinal. Kelainan ini terutama mengenai lapisan sub mukosa dan usus
halus dan usus besar (Buku Saku Patofisiologi Corwin Elizabeth).
Penyakit Corhn adalah suatu gangguan
radang kronis usus idiopatik yang melibatkan bagian seluruh saluran pencernaan
yang mana saja mulai dari mulut sampai anus (Berham Klirgeman, Book google).
B. MANIFESTASI
KLINIS
Gejala klinis yang paling sering timbul adalah sebagai
berikut :
a.
Diare
Jika terjadi pada anak, bila anak terbangun pada malam hari karena diare maka keadaan patologis
Jika terjadi pada anak, bila anak terbangun pada malam hari karena diare maka keadaan patologis
b.
Nyeri perut
Bentuk nyeri perut bervariasi tergantung dari daerah usus yang terkena. Ketidak nyamanan pada daerah perut kanan bawah biasanya pada kelainan ileum terminalis dan sekum yang bisa diperiksa dengan palpasi. Nyeri pad daerah umbilikal biasanya karena kelainan kolon atau kelainan usus yang difus. Biasanya nyeri perut akibat PC bersifat persisten dan jika terjadi pada anak akan membuat anak sering terbangun di malam hari.
Bentuk nyeri perut bervariasi tergantung dari daerah usus yang terkena. Ketidak nyamanan pada daerah perut kanan bawah biasanya pada kelainan ileum terminalis dan sekum yang bisa diperiksa dengan palpasi. Nyeri pad daerah umbilikal biasanya karena kelainan kolon atau kelainan usus yang difus. Biasanya nyeri perut akibat PC bersifat persisten dan jika terjadi pada anak akan membuat anak sering terbangun di malam hari.
c.
Perdarahan rektum
Perdarahan biasanya setelah ada ulserasi pada dinding usus dan melibatkan pembuluh darah besar
Perdarahan biasanya setelah ada ulserasi pada dinding usus dan melibatkan pembuluh darah besar
d.
Anoreksia
e.
Penurunan berat badan
f.
Gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit dapat terjadi
g.
Demam ringan
h.
Malaise
i.
Kegagalan perumbuhan dengan
keterlambatan pematangan tulang (terutama pada anak)
j.
Gejala – gejala yang timbul di ekstra
intestinal, anata lain :
a)
Persendian
artritis dan artralgia ditemukan pada 15% penderita PC dan dapattimbul beberapa tahun sebelum gejala pada saluran cerna muncul. Pada umumnya terjadi pada persendian besar di kaki.
artritis dan artralgia ditemukan pada 15% penderita PC dan dapattimbul beberapa tahun sebelum gejala pada saluran cerna muncul. Pada umumnya terjadi pada persendian besar di kaki.
b)
Muskuloskleletal
Ditemukan adanya keluhan mialgia, miositis granulomatosa, miopati, dan dermatomiositis.
Ditemukan adanya keluhan mialgia, miositis granulomatosa, miopati, dan dermatomiositis.
c)
Kulit
Manifestasi kulit didapatkan pada 1-4% berupa eritema nodosum, piodermagangrenosa, epidermolisis bulosa akuisita, poliartritis nodosa dan metastatic crohn disease (MCD/PC metastatik). MCD pertama kali diperkenalkan oleh Park pada tahun1965 merupakan komplikasi penyakit crohn berupa lesi granulomatosa pada kulit.
Manifestasi kulit didapatkan pada 1-4% berupa eritema nodosum, piodermagangrenosa, epidermolisis bulosa akuisita, poliartritis nodosa dan metastatic crohn disease (MCD/PC metastatik). MCD pertama kali diperkenalkan oleh Park pada tahun1965 merupakan komplikasi penyakit crohn berupa lesi granulomatosa pada kulit.
d)
Mukosa mulut
sariawan sering ditemukan, meskipun tidak begitu sakit tapimembuat rasa tidak nyaman.
sariawan sering ditemukan, meskipun tidak begitu sakit tapimembuat rasa tidak nyaman.
e)
Kelainan mata
hampir 10% pasien mempunyai komplikasi pada mata termasuk iritis, episkleritis, uveitis, dan pseudo tumor orbita.
hampir 10% pasien mempunyai komplikasi pada mata termasuk iritis, episkleritis, uveitis, dan pseudo tumor orbita.
f)
Vaskular
berupa trombositosis, peningkatan fibrinogen, faktor V dan faktor VIII serta penurunan anti thrombin III
berupa trombositosis, peningkatan fibrinogen, faktor V dan faktor VIII serta penurunan anti thrombin III
g)
Ginjal
obstruksi ureteral dan hidronefrosis , fistula enterovesikel, infeksiperivesikal, dan nefrolitiasis.
obstruksi ureteral dan hidronefrosis , fistula enterovesikel, infeksiperivesikal, dan nefrolitiasis.
C. ETIOLOGI
Etiologi dari Penyakit Corhn belum diketahui secara pasti,
namun para ahli meyakini disebabkan karena faktor berikut :
a) Hiperaktivitas
sistem imun
b) Diduga
adanya faktor infeksi
c) Predisposisi
faktor genetik
d) Pola
makan atau makanan yang tidak sehat yang dapat menimbulkan inflamasi
e) Obat
anti – inflamasi non-steroid (OAINS)
f)
Lingkungan seperti sering
mengkonsumsi tembakau yang memiliki efek pada faktor pencetus penyakit Corhn
D. PATOFISIOLOGI
Penyebab dari penyakit Corhn masuh belum diketahui secara pasti. Beberapa predisposisi seperti genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, penyakit vascular dan faktor psikososial, termasuk merokok, kontrasepsi oral serta menggunakan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), diyakini oleh sebagian besar ahli terlibat dalam patogenesis Penyakit Corhn.
Penyebab dari penyakit Corhn masuh belum diketahui secara pasti. Beberapa predisposisi seperti genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, penyakit vascular dan faktor psikososial, termasuk merokok, kontrasepsi oral serta menggunakan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), diyakini oleh sebagian besar ahli terlibat dalam patogenesis Penyakit Corhn.
Secara mikroskopis lesi awal dimulai sebagai fokus
peradangan diikuti dengan ulserasi mukosa yang dangkal. Kemudian menyerang sel
– sel inflamasi dalam lapisan mukosa dan dalam proses mulai membentuk
granuloma. Granuloma menyelimuti semua lapisan dinding usus dan masuk kedalam
mesenterium dan kelenjar getah bening regional. Infiltrasi neutrofil ke dalam
bentuk abses yang dalam menyebabkan kerusakan pada lapisan dalam dan atrofi
dari usus besar.
Secara makroskopis kelainan awal dari hiperemia dan edema
dari mukosa yang terlibat. Kemudian, diskrit terbentuk ulkus limfoid dangkal
dan dipandang sebagai bintik – bintik merah atau depresi mukosa. Keadaan ini
dapat menjadi mendalam, borok serpiginous terletak melintang dan longitudinal
diatas mukosa yang meradang. Hasil peradangan transmural atau meliputi mukosa
dan seluruh dinding membentuk penebalan dinding usus dan penyempitan lumen.
Obstruksi pada awalnya disebabkan oleh edema dari mukosa dan spasme usus
terkait. Obstruksi biasanya bersifat intermitten dan sering reversibel setelah
mendapat agen anti inflamasi.
Pada proses lanjut halangan menjadi kronis akibat jaringan
parut, penyempitan lumen dan oembentuk striktur.
Manifestasi pada penyakit Corhn akan terjadi nyeri abdoemn
menetap dan diare yang tidak hilang dengan defeksi. Diare terjadi pada 90%
pasien. Jaringan parut dan pembentukan granuloma mempengaruhi kemampuan usus
untuk mentraspor produk dari pencernaan usus atas melalu lumen yang
terkonstriksi, mengakibatkan nyeri abdomen berupa kram. Gerakan peristaltik
usus dirangsang oleh makan sehingga nyeri kram terjadi setelah makan. Untuk
menghindari nyeri kram ini, pasien cenderung untuk membatasi masukan makanan,
mengurangi jumlah dan jenis makanan sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak
terpenuhi. Akibatnya adalah penurunan berat badan, malnutrisi, anemia sekunder.
Selain itu, pembentukan ulkus dilapisan membran usus dan ditempat terjadinya
inflamasi akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke kolon
dari usus yang tipis, bengkak, yang menyebabkan diare kronis. Kekurangan
nutrisi dapat terjadi akbiat absorbsi terganggu. Malabsorbsi terjadi sebagai
akibat hilangnya fungsi penyerapan permukaan mukosa. Fenomena ini dapat
mengakibatkan malnutrisi protein – kalori, dehidrasi dan beberapa kekurangan
gizi.
E. PENATALAKSANAAN
Tujuan tatalaksana penyakit corhn adalah :
a)
Mengobati penyakit aktif atau
mempercepat remisi
b)
Mempertahankan remisi
c)
Mencegah relaps
d)
Memacu pertumbuhan dan
perkembangan
e)
Meningkatkan kualitas hidup
Terapi penyakit
corhn dibagi menjadi 4 kategori dasar yaitu farmakologis, nutrisi, bedah dan
psikologis :
1) Nutrisi
Penderita penyakit corhn mengalami defisiensi makronutrient, sehingga peran terapi nutrisi sangat penting. Penilaian status gizi dilakukan dengan mengukur berat badan, tinggi badan, data antropometri dan kadar protein serum. Deisiensi mineral dan vitamin (besi, asam folat, vitamin B12, kalsium, magnesium, seng) diterapi secara spesifik. Pada penderita corhn yang mengenai ileum terminal dan terjadi steatorkea, harus diberikan suplemen vitamin larut lemak, trigliserida rantai sedang dan vitamin B12 parenteral. Dukungan nutrisi intensif dapat mengakibatkan intake kalori terutama pada pasien malnutrisi atau gangguan pertumbuhan. Pemberian suplemen nutrisi yang cukup merupakan komponen penting dalam keberhasilan manajemen penyakit corhn pada anak. Tujuan utama dukungan nutrisi adalah koreksi dan pencegahan defisit nutrisi serta mengontrol gejala. Terapi nutrisi dibagi menjadi 3 bagian yaitu terapi primer, terapi tambahan dan persiapan pre operatif.:
Penderita penyakit corhn mengalami defisiensi makronutrient, sehingga peran terapi nutrisi sangat penting. Penilaian status gizi dilakukan dengan mengukur berat badan, tinggi badan, data antropometri dan kadar protein serum. Deisiensi mineral dan vitamin (besi, asam folat, vitamin B12, kalsium, magnesium, seng) diterapi secara spesifik. Pada penderita corhn yang mengenai ileum terminal dan terjadi steatorkea, harus diberikan suplemen vitamin larut lemak, trigliserida rantai sedang dan vitamin B12 parenteral. Dukungan nutrisi intensif dapat mengakibatkan intake kalori terutama pada pasien malnutrisi atau gangguan pertumbuhan. Pemberian suplemen nutrisi yang cukup merupakan komponen penting dalam keberhasilan manajemen penyakit corhn pada anak. Tujuan utama dukungan nutrisi adalah koreksi dan pencegahan defisit nutrisi serta mengontrol gejala. Terapi nutrisi dibagi menjadi 3 bagian yaitu terapi primer, terapi tambahan dan persiapan pre operatif.:
§ Terapi
primer : diet elemental dapat menurunkan inflamasi intestinal dengan menurunkan
stimulasi antigen ke saluran pencernaan.
§ Terapi
tambahan : dukungan nutrisi yang intensif dapat digunakan sebagai terapi
tambahan terhadap farmakologis dalam beberapa keadaan klinis
§ Terapi
pre operatif : perbaikan suatu defisiensi nutrisi multak dibutuhkan untuk
persiapan operasi yang besar pada pasien Crohn
2) Farmakologis
Beberapa kombinasi terapi dapat efektif dan mentebabkan
remisi dari penyakit corhn. Setelah tercapai keadaan remisi maka dosis dapat
diturunkan secara bertahap.
§ Kortikosteroid
Kortikosteroid secara signifikan efektif menybabkan remisi pada pasien penyakit crohn, baik pada usus halus maupun usus besar.
Kortikosteroid secara signifikan efektif menybabkan remisi pada pasien penyakit crohn, baik pada usus halus maupun usus besar.
§ Sulfasalazin
Obat ini hanya efektif untuk penyakit crohn oada usus halus.
Obat ini hanya efektif untuk penyakit crohn oada usus halus.
§ Antibiotika
Antibiotika spektrum luas sering dibutuhkan untuk mengobati abses intraabdominal yang merupakan salah satu manifestasi penyakit crohn. Kombinasi 3 macam obat sering digunakan yaitu ampisilin, gentamisin dan metronidazol.
Antibiotika spektrum luas sering dibutuhkan untuk mengobati abses intraabdominal yang merupakan salah satu manifestasi penyakit crohn. Kombinasi 3 macam obat sering digunakan yaitu ampisilin, gentamisin dan metronidazol.
3) Terapi
bedah
Lebih kurang 50 – 70% anak dengan penyakit crohn membutuhkan tindakan bedah dalam 10 – 15 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Tindakan bedah dilakukan bila gejala masih menetap meskipun telah mendapat terapi farmakologis, adanya komplikasi intestinal berupa obstruksi, abses intraabdominal, fistula enterofesicular, perdarahan serta perforasi.
Lebih kurang 50 – 70% anak dengan penyakit crohn membutuhkan tindakan bedah dalam 10 – 15 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Tindakan bedah dilakukan bila gejala masih menetap meskipun telah mendapat terapi farmakologis, adanya komplikasi intestinal berupa obstruksi, abses intraabdominal, fistula enterofesicular, perdarahan serta perforasi.
4) Terapi
psikologis
Sangat penting memonitor secara psikologis dan sosial akibat
dari penyakit crohn. Sering didapatkan keadaan gangguan psikologis, terutama
depresi akibat penyakit kronis yang diderita.
F. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
a.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium adalah kadar hemoglobin, hematokrit, kadar besi serum untuk menilai kehilangan darah dalam usus, laju endap darah untuk menilai aktivitas inflamasi serta kadar alumin serum untuk status nutrisi, serta C reactive protein yang dapat dipakai juga sebagai parameter aktivitas penyakit
Pemeriksaan laboratorium adalah kadar hemoglobin, hematokrit, kadar besi serum untuk menilai kehilangan darah dalam usus, laju endap darah untuk menilai aktivitas inflamasi serta kadar alumin serum untuk status nutrisi, serta C reactive protein yang dapat dipakai juga sebagai parameter aktivitas penyakit
b.
Endoscopy
Penyakit crohn dapat bersifat transmural, segmental dan dapat terjadi disaluran cerna bagian atas, usus halus ataupun colon.
Penyakit crohn dapat bersifat transmural, segmental dan dapat terjadi disaluran cerna bagian atas, usus halus ataupun colon.
c.
Radiologi
Barium kontas ganda dapat memperlihatkan striktur, fistula, mukosa yang iregular, gambaran ulkus dan polip, ataupun perubahan distenbilitas lumen kolon berupa penebalan dinding usus. Peran Ct Scan dan ultrasonografi lebih banyak ditujukan pada penyakit crohn dalam mendeteksi adanya bases ataupu fistula.
Barium kontas ganda dapat memperlihatkan striktur, fistula, mukosa yang iregular, gambaran ulkus dan polip, ataupun perubahan distenbilitas lumen kolon berupa penebalan dinding usus. Peran Ct Scan dan ultrasonografi lebih banyak ditujukan pada penyakit crohn dalam mendeteksi adanya bases ataupu fistula.
d.
Histopatologi
Spesimen yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostik daripada spesimenyang diambil secara biopsi per – endoskopik. Terlebih lagi bagi penyakit crohn yang lesinya bersifat transmural sehingga tidak dapat dijangkau dengan teknik biopsi per-endoscopik. Gambaran khas untuk penyakit crohn adanya granuloma tuberculoid (terdapat 20 – 40% kasus) merupakan hal yang karakteristik disampung adanya infiltrasi sel makrofag dan limfosit di lamina profia serta ulserasi yang dalam.
Spesimen yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostik daripada spesimenyang diambil secara biopsi per – endoskopik. Terlebih lagi bagi penyakit crohn yang lesinya bersifat transmural sehingga tidak dapat dijangkau dengan teknik biopsi per-endoscopik. Gambaran khas untuk penyakit crohn adanya granuloma tuberculoid (terdapat 20 – 40% kasus) merupakan hal yang karakteristik disampung adanya infiltrasi sel makrofag dan limfosit di lamina profia serta ulserasi yang dalam.
e.
MRI
Dapat lebih unggul daripada Ct Scan dalam menunjukkan lesi panggul. Oleh karena kadar air diverensia, MRI dapat mebedakan peradangan aktif dari fibrosis dan dapat membedakan antara inflamasi serta lesi fibrostenosis penyakit crohn.
Dapat lebih unggul daripada Ct Scan dalam menunjukkan lesi panggul. Oleh karena kadar air diverensia, MRI dapat mebedakan peradangan aktif dari fibrosis dan dapat membedakan antara inflamasi serta lesi fibrostenosis penyakit crohn.
f.
Colonoscopy
Dapat membantu ketika barium enema satu kontras belum informatif dalam mengevalusia sebuah lesi kolon. Kolonoscopy berguna dalam memperoleh jaringan biopsi, yang membantu dalam diferensiasi penyakit lain, dalam evaluasi lesi masa, dan dalam pelaksanaan surveilans kanker. Colonoscopy juga memungkinkan mefisualisasi fibrosis striktur pada pasien dengan penyakit kronis. Selain itu, colonoscopy juga dapat digunakan dalam periode pasca operasi bedah untuk mengevaluasi anastomosis dan meprediksi kemungkinan kambuh klinis serta respon terhadap terapi pasca operasi.
Dapat membantu ketika barium enema satu kontras belum informatif dalam mengevalusia sebuah lesi kolon. Kolonoscopy berguna dalam memperoleh jaringan biopsi, yang membantu dalam diferensiasi penyakit lain, dalam evaluasi lesi masa, dan dalam pelaksanaan surveilans kanker. Colonoscopy juga memungkinkan mefisualisasi fibrosis striktur pada pasien dengan penyakit kronis. Selain itu, colonoscopy juga dapat digunakan dalam periode pasca operasi bedah untuk mengevaluasi anastomosis dan meprediksi kemungkinan kambuh klinis serta respon terhadap terapi pasca operasi.
G. KOMPLIKASI
Terbentuknya usus halus secara menyeluruh dapat menimbulkan
sindrom malabsorbsi, tetapi penyebab malabsorbsi yang paling sering pada
penyakit crohn adalah iatrogenik. Reseksi berulang usus halus menimbulkan
sindroma usus pendek dimana nutrisi yang ade kuat dipertahankan dengan
pemberian melalui intra vena atau intra peritonial. Terjadinya fistula
merupakan komplikasi tersering, penetrasi yang dalam oleh ulkus menimbulkan
fistula diantara lengkung usus disekitarnya dan terutama setelah terapi bedah,
menimbulkan fistula enterokutaneus. Sekitar 60% penderita mempunyai lesi anal.
Ini meliputi tonjolan kecil pada kulit, fisura dan fistula ke kanalis anal atau
kulit peri anal. Komplikasi akut seperti perforasi, perdarahan dan dilatasi
toksik dapat terjadi tetapi jumlahnya lebih sedikit yang ditemukan pada
penyakit corhn. Pada jangka panjang terdapat peningkatan resiko keganasan,
terutaa pada usus halus. Amiloidisis sistemik jarang terjadi, suatu komplikasi
jangka panjang yang diakibatkan oleh produksi amiloid protein A serum yang
berlebihan (underwood,1999).
a.
Malnutrisi
Diperkirakan 85% penderita penyakit crohn mengalami kehilangan berat badan. Penyebab malnutrisi biasanya multifaktor, termasuk intake diet yang sub optimal, pengeluaran gastrointestinal yang berubah, malabsorbsi dan peningkatan kebutuhan akibat proses inflamasi. Anoereksia adalah tanda penting. Malabsorbsi komponen-komponen makanan dapat terlihat pada penyakit crohn. Malabsorbsi lemak dapat terjadi karena :
Diperkirakan 85% penderita penyakit crohn mengalami kehilangan berat badan. Penyebab malnutrisi biasanya multifaktor, termasuk intake diet yang sub optimal, pengeluaran gastrointestinal yang berubah, malabsorbsi dan peningkatan kebutuhan akibat proses inflamasi. Anoereksia adalah tanda penting. Malabsorbsi komponen-komponen makanan dapat terlihat pada penyakit crohn. Malabsorbsi lemak dapat terjadi karena :
a)
Berkurangnya bile acid pool sekunder
akibat mengabsorbsi asam empedu dari penyakit ileum atau akibat reseksi ileum.
b)
Meluasnya pada mukosa usus halus.
c)
Pertumbuhan berlebih bakteri pada
daerah usus proximal.
b.
Gangguan pertumbuhan
Keadaan malnutrisi kronik menyebabkan gangguan pertumbuhan linear dan perkembangan pubertas pada anak dengan penyakit crohn. Beberapa study telah melaporkan beberapa gangguan pertumbuhan pada penyakit crohn. Penelitian oleh Tjietjn dkk, pada 40 anak dengan penyakit crohn didapatkan adanya ganggguan pertumbuhan pada anak-anak tsb. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan memberikan konstribusi pada gangguan pertumbuhan anak dengan penyakit crohn. Malnutrisi kronis dapat menjadi penyebab penting terjadinya retardasi pertumbuhan.
Keadaan malnutrisi kronik menyebabkan gangguan pertumbuhan linear dan perkembangan pubertas pada anak dengan penyakit crohn. Beberapa study telah melaporkan beberapa gangguan pertumbuhan pada penyakit crohn. Penelitian oleh Tjietjn dkk, pada 40 anak dengan penyakit crohn didapatkan adanya ganggguan pertumbuhan pada anak-anak tsb. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan memberikan konstribusi pada gangguan pertumbuhan anak dengan penyakit crohn. Malnutrisi kronis dapat menjadi penyebab penting terjadinya retardasi pertumbuhan.
B. KONSEP KEPERAWATAN CHRON DISEASE
A. PENGKAJIAN
1.
Riwayat Kesehatan
a.
Keluhan utama
Sering merasa nyeri abdomen dan diare. Keluhan nyeri biasanya bersifat kronis yaitu berupa nyeri kram pada kuadran perumbilikal kanan bawah dan kondisi rasa sakit dapat mendahului diare, serta mungkin sebagian pasien melaporkan perasaan nyaman setelah buang air besar. Diare biasanya tanpa disertai darah dan sering terputus – putus atau tidak mau berkurang dengan melakukan defekasi. Akan tetapi, apabila usus besar yang terlibat, pasien dapat melaporkan nyeri perut difus serta dengan Bab lendir, darah atau nanah. Awalnya, halangan tersebut adalah peradangan sekunder edema dan spasme usus, kemudian bermanifestasi sebagai kembung dan sakit kram. Setelah menjadi kronis, lumen usus menyempit, pasien mungkin mengeluh sembelit dan kesukaran membuang air besar.
Sering merasa nyeri abdomen dan diare. Keluhan nyeri biasanya bersifat kronis yaitu berupa nyeri kram pada kuadran perumbilikal kanan bawah dan kondisi rasa sakit dapat mendahului diare, serta mungkin sebagian pasien melaporkan perasaan nyaman setelah buang air besar. Diare biasanya tanpa disertai darah dan sering terputus – putus atau tidak mau berkurang dengan melakukan defekasi. Akan tetapi, apabila usus besar yang terlibat, pasien dapat melaporkan nyeri perut difus serta dengan Bab lendir, darah atau nanah. Awalnya, halangan tersebut adalah peradangan sekunder edema dan spasme usus, kemudian bermanifestasi sebagai kembung dan sakit kram. Setelah menjadi kronis, lumen usus menyempit, pasien mungkin mengeluh sembelit dan kesukaran membuang air besar.
b.
Riwayat Penyakit Sekarang
Didapat keluhan lainnya yang menyertai seperti peningkatan suhu tubuh, mual dan muntah, anoreksia, perasaan lemah dan penurunan nafsun makan.
Didapat keluhan lainnya yang menyertai seperti peningkatan suhu tubuh, mual dan muntah, anoreksia, perasaan lemah dan penurunan nafsun makan.
c.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian predisposisi seperti genetik , lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, vascular dan faktor psikososial, termasuk merokok, kontrasepsi oral dan menggunakan obat anti inflamasi (OAINS) perlu didokumentasikan. Anamnesis penyakit sistemik seperti DM, hipertensi dan tuberkulosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian perioperatif.
Pengkajian predisposisi seperti genetik , lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, vascular dan faktor psikososial, termasuk merokok, kontrasepsi oral dan menggunakan obat anti inflamasi (OAINS) perlu didokumentasikan. Anamnesis penyakit sistemik seperti DM, hipertensi dan tuberkulosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian perioperatif.
2.
Pengkajian Psikososial
Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan
rencana pembedahan dan serta perlunya informasi sarana pembedahan.
3.
Pemeriksaan Fisik
a.
Keadaan umum : terlihat lemah dan
kesakitan
b.
TTV mengalami perubahan sekunder
dari nyeri dan diare, suhu badan pasien naik ≥38,5°C
c.
Head to toe
a)
Integumen : Kilit kering dan turgor
tidak baik karena kekurangan nutrisi
b)
Abdomen
Inspeksi : pasien mengalami nyeri tekan, kram
Inspeksi : pasien mengalami nyeri tekan, kram
andomen, perut kembung, inspeksi dari daerah perinatal dapat
mengungkapkan fistula, abses dan jaringan parut.
Auskultas : terdapat peningkatan bising usus karena pasien mengalami diare
Auskultas : terdapat peningkatan bising usus karena pasien mengalami diare
Perkusi : nyeri
tekuk dan tympani karena adanya flatulen
Palpasi :
nyeri tekan abdomen, peningkatan suhu tubuh atau didapatkan adanya masaa pada
abdomen. Turgor kulit >3 detik menandakan gejala dehidrasi
4.
Pemeriksaan Laboratorium
a.
Anemia disebabkan oleh beberapa
penyebab, termasuk peradangan kroni, malabsorbsi besi, kehilangan darah kronis,
dan malabsorbsi vitamin B12 atau folat
b.
Hipoalbuminemia, hipokolesterolemia,
hipokalsemia dan hipomagnesemia mencerminkan malabsorbsi
c.
Leukositosis disebabkan oleh
peradangan kronis, abses atau pengobatan steroid
B. DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1.
Nyeri (00132) b.d iritasi
nitestinal, kram abdomen dan respon pembedahan
2.
Resiko ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit (00028) b.d pengeluaran
cairan dari muntah yang berlebihan
3.
Resiko ketidakseimbangan nutrisi :
kurang dari kebutuhan tubuh (00002)b.d ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder
akibat nyeri, ketidaknyamana lambung dan intestinal
4.
Resiko infeksi b.d adanya luka pasca bedah
5.
Ansietas
b.d prognosis penyakit dan rencana pembedahan
C.
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
Dx.Keperawatan
|
Tujuan dan KH
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1.
Nyeri (00132) b.d iritasi
nitestinal, kram abdomen dan respon pembedahan
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah keperawatan nyeri
dapat teratasi dengan KH sebagai berikut :
1.
Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang
2.
Ekspresi wajah pasien tenang dan rileks
3.
Dapat mengidentifikasi kegiatan yang dapat menambah atau mengurangi nyeri
4.
Pasien tidak gelisah
5.
Skala nyeri turun
0 – 4
|
a. Kaji
skala nyeri (0 – 4)
b. Jelaskan
dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi
c. Istirahatkan
pasien
d. Ajarkan
teknik distraksi
e. manajemen
pemberian diet dan menghindari agen iritan mukosa lambung
f.
kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian antasida sesuai dosis
|
a.
perawat mengkaji tingkat nyeri dan
dan kenyamanan pasien setelah penggunaan obat – obatan dan menghindari zat
pengiritasi
b.
pendekatan dengan menggunakan
relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri
c.
istirahat secara fisiologis dapat
menurunkan kebutuhan oksigen
d.
distraksi dapat menurunkan stim
ulus internal
e.
dengan emnghindari makan dan
minuman yang dapat mengiritasi mukosa lambung dapat menurunkan intensitas
nyeri
f.
antasid untuk mempertahankan Ph
lambung pada tingkat normal (4,5)
|
|
2.
Resiko ketidakseimbangan cairan (00028) b.d pengeluaran cairan
dari muntah yang berlebihan
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, masalah cairan dan elektrolit
dapat teratasi dengan KH sebagai berikut :
o membran
mukosa lembab, turgor kulit normal
o TTV
dalam batas normal
o Output
>600ml/hari
o Laboratorium
: nilai elektrolit normal
|
a. Monitor
TTV
b. Monitor
status cairan (membran mukosa, turgor kulit dan output urin)
c. Kaji
sumber kehilangan cairan
d. Manajemen
pemberian cairan
e. Kolaborasi
untuk pemberian diuresis
|
a.
Mengetahui keadaan umum pasien,
hipotensi datap terjadi pada kondisi hipovolemia
b.
Jumlah dan tipe cairan pengganti
ditentukan dari keadaan status cairan.
c.
Penurunan volume cairan
mengakibatkan menurunnya
d.
produksi urin. Monitor dilakukan
dengan ketat pada produksi urin Kehilangan caairan dan muntah dapat disertai
dengan keluarnya natrium per oral yang juga akan meningkatkan risiko gangguan
elektrolit
e.
Intake dan output cairan setiap
hari dipantau untuk mendeteksi tanda – tanda awal terjadinya dehidrasi
|
|
3.
Resiko ketidakseimbangan nutrisi :
kurang dari kebutuhan tubuh (00002)b.d ketidakadekuatan intake nutrisi
sekunder akibat nyeri, ketidaknyamana lambung dan intestinal
|
Setelah dilakukan keperawatan selama 3x24 jam, masalah
keperawatan ketidakseimbangan nutrisi dapat teratasi dengan KH sebagai berikut
:
1.
Pasien dapat mempertahankan asupan status nutrisi yang adekuat
2.
Pernyataan motivasi yang kuat untuk meningkatkan kebutuhan nutrisinya
|
a. Kaji
status nutrisi pasien, turgor kulit, berat badan dan penurunan berat badan
b. Fasilitasi
pasien memperoleh diit biasa yang dikonsumsi pasien setiap hari
c. Pantau
intake dan output, anjurkan untuk timbang berat badan secara periodik
d. Lakukan
dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan
e. Kolaborasi
dengan ahli gizi untuk pemberian ddit yang seimbang
f.
Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian anti muntah sesuai dosis
|
a.
Menetapkan derajad masalah untuk
menetapkan pilihan intervensi yang tepat
b.
Memperhitungkan keinginan individu
agar dapat memperbaiki nutrisi
c.
Berguna dalam mengukur keefektifan
nutrisi dan dukungan cairan.
d.
Menurunkan rasa tidak enak karena
sisa makanan dan bau obat yang dapat merangsang pusat muntah
e.
Merencanakan deit dengan kandungan
nutrisi yang adekuat untuk memenuhi pengingkatan kebutuhan energi dan kalori
f.
Meningkatkan rasa nyaman pada
gastrointestinal dan meningkatkan keinginan intake nutriso dan cairan per
oral
|
|
4.
Resiko infeksi b.d adanya luka pasca
bedah
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
masalah keperawatan resti infeksi dapat teratasi dengan KH sebagai berikut :
o Tanpa
adanya infeksi dan tanda – tanda kemerahan setelah jahitan dilepas
o TTV
terutama suhu dalam batas normal
|
a.
Kaji TTV
b.
Kaji jenis pembedahan
c.
Lakukan perawatan luka pada hari
ke dua pasca bedah
d.
Bersihkan luka pada saat setiap
perawatan luka
e.
Tutup luka dengan kassa steril
f.
Berikan penkes kepada keluarga
pasien dan pasien cara perawatan luka yang benar dan steril
g.
Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian anti infeksi sesuai dosis
|
a.
Suhu dapat ikut naik jika pasien
terjadi inflamasi dan infeksi
b.
Menidentifikasi kemajuan atau
penyimpangan dari tujuan yang diharapkan
c.
Perawatan luka sebaiknya tidak
setiap hari untuk menurunkan kontak dengan luka yang dalam kondisi steril
d.
Pembersihan debridemen dapat
mencegah kontaminasi kuman ke jaringan luar
e.
Penutupan secara menyeluruh dapat
menghindari kontaminasi dari benda atau udara
f.
Pemberian penkes diharapkan bisa
lenih memberikan pemenuhan informasi bagi keluarga
g.
Tindakan kolaborasi dilakukan
dengan tujuan untuk lebih optimal dalam pengobatan
|
|
5.
Ansietas
b.d prognosis penyakit dan rencana pembedahan
|
Setelah dilakukan keperawatan selama 3x24 jam, masalah
keperawatan kecemasan dapat teratasi dengan KH sebagai berikut :
·
Pasien mampu mgnungkapkan perasaan
kepada perawat
·
Pasien dapat mencatat penurunan
kecemasan atau ketakutan
·
Pasien dapat rileks dan tidur
dengan nyaman
|
a. Monitor
respon fisik, seperti kelelahan, perubahan tanda vital dan gerakan yang
berulang – ulang
b. Anjurkan
pasien dan keluarga mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya
c. Catat
reaksi pasien atau keluarga. Berikan kesempatan utnuk mengungkapkan
perasaannya
d. Ajarka
aktivitas pengalihan perhatian sesuai kemampuan individu seperti menulis,
menonton tv, dll
|
a.
Digunakan untuk mengevaluasi
derajad atau tingkat kesadaran, khusunya jika melakukan komunikasi verbal
b.
Memberikan kesempatan untuk
berkosentrasi kejadian dari rasa takut, dan mengurangi cemas yang berlebihan
c.
Respon dari kecemasan anggota
keluarga terhadap apa yang terjadi dapat disampaikan kepada perawat
d.
Sejumlah aktivitas atau
ketrampilan dapat menurunkan tingkat kebosanan yang dapat menjadi stumulus
kecemasan
|
C. KONSEP MEDIS LEPTOSPIROSIS
1. DEFINISI
Leptospirosis adalah
suatu zoonosis yang disebabkan suatu mikroorganisme yaitu leptospira tanpa
memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini juga dikenal dengan nama
seperti mud fever, slim fever, swamp fever, autumnal fever, infectoius
jaundice, field fever, cane cutler fever.
2. ETIOLOGI
Penyakit yang terdapat di negara yang beriklim tropis.
Berbagai subgroup yang masing- masing terbagi dalam atas :
1. L icterohaemorhagiae dengan reservoire tikus (syndroma
weil)
2. L. canicola dengan reservoire anjing
3. L pamona dengan reservoire sapi dan babi
Insiden :
Penyakit ini dapat berjangkit pada laki-laki dan
perempuan pada semua umur.
3. PATOFISIOLOGI
Manusia bisa
terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka/erosi
dengan air, lumpur dan sebagainya yang telah tercemar oleh air kemih binatang
yang terinfeksi leptospira. Leptospira yang masuk melalui kulit maupun selaput
lendir yang luka/erosi akan menyebar ke organ-organ dan jaringan tubuh melalui
darah. Sistem imun tubuh akan berespon sehingga jumlah laptospira akan
berkurang, kecuali pada ginjal yaitu tubulus dimana kan terbentuk koloni-koloni
pada dinding lumen yang mengeluarkan endotoksin dan kemudian dapat masuk ke
dalam kemin.
Leptospira masuk ke dalam tubuh
melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran darah dan berkembang, lalu
menyebar ke seluruh jaringan tubuh. Masa inkubasinya sekitar 2-26 hari,
biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari. Klinis leptospirosis dibagi menjadi
dua fase (bifasik), yaitu fase leptospiremia (fase akut/fase septikemi) serta
fase imun. Fase leptospiremia ditandai dengan adanya leptospira dalam darah dan
cairan cerebrospinal, yang berlangsung kira-kira 1 minggu (4-7 hari).
Lalu setelah agglutinin terbentuk,
leptospira akan cepat menghilang dari sirkulasi, yang kemudian dilanjutkan
dengan fase imun. Pada fase ini, leptospira dijumpai di jaringan ginjal dan
okuler, sehingga fase imun selain ditandai dengan peningkatan produksi
antibody, juga ditandai dengan ekskresi leptospira ke dalam urin (leptospuria).
Leptospirosis dapat dijumpai dalam urin sekitar 8 hari sampai beberapa
minggu setelah infeksi, berbulan – bulan, bahkan bertahun – tahun kemudian.
Kebanyakan komplikasi yang terjadi pada leptospirosis berhubungan dengan lokasi
leptospira pada jaringan selama fase imun, yaitu mulai minggu ke 2 pada
perjalanan penyakit.
4. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas
berkisar antara 2-26 hari(kebanyakan 7-13 hari) rata-rata 10 hari.
Pada leptospira ini ditemukan perjalanan klini
sbifasik :
1. Leptopiremia (berlangsung 4-9 hari)
Timbul demam
mendadak, diserta sakit kepala (frontal, oksipital atau bitemporal). Pada otot
akan timbul keluhan mialgia dan nyeri tekan (otot gastronemius, paha pinggang,)
dandiikuti heperestesia kulit. Gejala menggigil dan demam tinggi, mual, muntah,
diare, batuk, sakit dada, hemoptisis, penurunan kesadaran, dan injeksi
konjunctiva. Injeksi faringeal, kulit dengan ruam berbentuk
makular/makolupapular/urtikaria yang tersebar pada badan, splenomegali, dan
hepatomegali.
2. Fase imun (1-3 hari)
Fase imun
yang berkaitan dengan munculnya antibodi IgM sementara konsentrasi C3,
tetap normal. Meningismus, demam jarang melebihi 39oC. Gejala lain
yang muncul adalah iridosiklitis, neuritis optik, mielitis, ensefalitis, serta
neuripati perifer.
3. Fase penyembuhan (minggu ke-2 sampai minggu ke-4)
Dapat
ditemukan adanya demam atau nyeri otot yang kemudian berangsur-angsur hilang.
PATOGENESIS LEPTOSPIROSIS
Bagaimana infeksi leptospira
menimbulkan penyakit, belum diketahui dengan jelas. Berikut beberapa
patogenesis yang mungkin terjadi dalam infeksi
leptospirosis (Levett, 2001) :
·
Produksi
toksin
Beberapa
serovar leptospira patogen mampu memproduksi toksin. Beberapa endotoksin yang
diproduksi diantaranya hemolisin, sphingomyelinase, phospholipase C. Selain itu
beberapa serovar juga memproduksi protein cytotoxin yang mampu menghambat Na-K
ATPase.
·
Attachment
(perlekatan)
Leptospira
mengadakan perlekatan pada sel epitelial, diantaranya melekat pada sel epital
renalis dan perlekatan ini dibantu oleh konsentrasi subagglutinasi dari antibodi
homolog. Selain itu lipopolisakarida (LPS) leptospira merangsang perlekatan
netrofil ke sel endotel dan platelet, menimbulkan aggregasi platelet dan
menyebabkan trombositopenia.
·
Surface
protein
Membran
terluar dari leptospira tersusun oleh LPS dan beberapa lipoprotein (Outer
Membran Proteins / OMPs). LPS bersifat sangat immunogenik dan menentukan
spesifisitas masing-masing serovar. Keduanya, baik LPS maupun OMPs, penting
dalam patogenesis dari nefritis interstitiil.
ASPEK
IMMUNOLOGIS LEPTOSPIROSIS
Imunitas
terhadap leptospirosis dirangsang oleh beberapa antigen diantaranya yaitu
antigen serovar spesifik yang diekstraksi dari LPS leptospira, antigen serupa
yang mampu menghambat aglutinasi oleh antisera homolog, serta ekstrak sodium
dodecyl sulphate yang terdapat pada seluruh dinding sel leptospira yang
juga mampu merangsang pembentukan antibodi, yamg mana antibodi yang terbentuk
juga berefek aglutinasi dan mengikat komplemen. Imunitas yang terbentuk
berpengaruh kuat merestriksi serovar homolog atau yang mirip dengan itu.
Immunitas
terhadap leptospirosis terutama merupakan imunitas humoral, namun imunitas
seluler juga turut berperan dalam immunopathogenesis leptospirosis. Mobilitas
respon imun seluler terjadi terutama pada fase initial infeksi, yaitu 7 hari
setelah inokulasi. Respon imun selluler yang terjadi berupa opsonisasi makrofag
dan aktifasi netrofil. Secara simultan, bakteri akan mulai menghilang dari
sirkulasi seiring dengan terbentuknya antibodi, dan respon imun seluler akan
mulai digantikan dengan imunitas humoral, yang mengindikasikan bahwa
dimungkinkan terdapat faktor inhibitor yang menyebabkan penekanan terhadap
respon imun seluler.
Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa penekanan respon imun selluler tersebut ditandai
penurunan jumlah limfosit CD4+ dan responnya terhadap sejumlah mitogen. Respon
imun humoral ditandai dengan terbentuknya antibodi dan beberapa sitokin (IL-6,
TNF-α dan transforming growth factor-β1 (TGF- β1)), nitrit oxide (NO) dan H2O2.
Berdasarkan antibodi yang diproduksi, dibagi menjadi dua strain, yaitu strain
Low (L) dan High (H). Strain H menunjukkan tendensi yang lebih tinggi terhadap
respon Th2, dengan produksi antibodi yang lebih besar, lesi jaringan yang lebih
luas serta adanya sintesis IL-4. Strain L menunjukkan respon Th1, dengan
produksi yang besar dari interferon (IFN), serta aktivasi makrofag.
Reaksi
imunologis terhadap leptospirosis merupakan salah satu faktor yang memperberat
infeksi leptospirosis yang terjadi. Kompleks imun yang diproduksi menyebabkan
inflamasi setempat termasuk di sistem saraf pusat. Jumlah kompleks imun yang
beredar dalam sirkulasi sebanding dengan berat-ringannya klinis infeksi
leptospirosis yang muncul, sedangkan pada pasien yang mampu bertahan, perbaikan
klinis yang terjadi sebanding dengan penurunan jumlah kompleks imun di
sirkulasi. Berdasarkan beberapa penelitian, antigen leptospira terlokalisasi di
sel interstitium ginjal, sedangkan immunoglobulin G serta C3 terdeposit di
glomerolus dan dinding pembuluh darah kecil.
Selain
itu, antibodi leptospira yang diproduksi dapat menimbulkan cross reaction
dengan jaringan setempat, seperti pada mata, sehingga menimbulkan uveitis.
Kerusakan retina dapat pula terjadi sehubungan dengan terdapatnya limfosit B di
retina. Pada leptospirosis dapat juga terbentuk antibodi antiplatelet. Antibodi
tersebut melawan cryptantigen yang dipaparkan oleh platelet yang rusak. Selain
itu, outoantibodi yang lain juga dapat ditemukan, diantaranya anticardiolipin
antibodi serta antineutrofil citoplasmic antibodi. Leptospira yang virulen juga
mampu merangsang munculnya apoptosis. Apoptosis yang terjadi muncul akibat
induksi TNF-α oleh LPS leptospira. Peningkatan jumlah sitokin inflamasi seperti
TNF-α ditemukan dalam infeksi leptospirosis.
5. PENATALAKSANAAN
Obat antibiotika
yang biasa diberikan adalah penisillin, strptomisin, tetrasiklin,
kloramfenikol, eritromisin dan siproflokasasin. Obat pilihan utama adalah
penicillin G 1,5 juta unit setiap 6 jam selama 5-7 hari. Dalam 4-6 jam setelah
pemeberian penicilin G terlihat reaksi Jarisch Hecheimmer yang menunjukkan
adanya aktivitas antileptospira> obat ini efektif pada pemberian 1-3 hari
namun kurnag bermanfaat bila diberikan setelah fase imun dan tidak efektif jika
terdapat ikterus, gagal ginjal dan meningitis. Tindakan suporatif diberikan
sesuai denan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul.
6. KOMPLIKASI
Pada
leptospira, komplikasi yang sering terjadi adalah iridosiklitis, gagal ginjal,
miokarditis, meningitis aseptik dan hepatitis. Perdarahan masif jarang ditemui
dan bila terjadi selalu menyebabkan kematian.
7. PENCEGAHAN
Ø
Membiasakan
diri dengan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
Ø
Menyimpan
makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus
Ø
Mencuci tangan, dengan sabun
sebelum makan
Ø
Mencuci tangan, kaki serta bagian
tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah/ kebun/ sampah/ tanah/
selokan dan tempat tempat yang tercemar lainnya.
Ø Melindungi pekerja yang beresiko tinggi terhadap Leptospirosis (petugas kebersihan, petani, petugas pemotong hewan dan lain lain) dengan
menggunakan sepatu bot dan sarung tangan.
Ø Menjaga
kebersihan lingkungan
Ø Menyediakan dan menutup rapat tempat sampah
Ø Membersihkan tempat tempat air dan kolam kolam renang.
Ø Menghindari adanya tikus didalam rumah atau gedung.
Ø Menghindari
pencemaran oleh tikus.
Ø Melakukan desinfeksi terhadap tempat tempat tertentu yang tercemar oleh
tikus.
8. PENGOBATAN
Pengobatan kasus leptospirosis masih diperdebatkan. Sebagian ahli
mengatakan bahwa pengobatan leptospirosis hanya berguna pada kasus kasus dini
(early stage)atau fase awal sedangkan pada fase ke dua atau fase
imunitas (late phase) yang paling penting adalah perawatan.
Tujuan pengobatan dengan antibiotik adalah:
1. Mempercepat pulih ke keadaan normal
2. Mempersingkat lamanya demam
3. Mempersingkat lamanya perawatan
4. Mencegah komplikasi seperti gagal ginjal (leptospiruria)
5. Menurunkan angka kematian
9. Penyimpangan
KDM
D. KONSEP KEPERAWATAN LEPTOSPIROSIS
1. PENGKJIAN
a. Identitis
Keadaan umum
klien seperti umur dan imunisasi., laki dan perempuan tingkat kejadiannya sama.
b. Keluhan
utama
Demam yang
mendadak : Timbul gejala demam yang disertai sakit kepala, mialgia dan nyeri
tekan (frontal) mata merah, fotofobia, keluahan gastrointestinal. Demam
disertai mual, muntah, diare, batuk, sakit dada, hemoptosis, penurunan
kesadaran dan injeksi konjunctiva. Demam ini berlangsung 1-3 hari.
c. Riwayat
keperawatan
1. Imunisasi,
riwayat imunisasi perlu untuk peningkatan daya tahan tubuh
2. Riwayat
penyakit, influenza, hapatitis, bruselosis, pneuma atipik, DBD, penyakit
susunan saraf akut, fever of unknown origin.
3. Riwayat
pekerjaan klien apakah termasuk kelompok orang resiko tinggi seperti bepergian
di hutan belantara, rawa, sungai atau petani.
4. Pemeriksaan dan observasi
a. Fisik
Keadaan
umum, penurunan kesadaran, lemah, aktvivitas menurun Review of sistem :
Ø
Sistem pernafasan : Epitaksis, penumonitis hemoragik
di paru, batuk, sakit dada.
Ø
Sistem cardiovaskuler : Perdarahan, anemia, demam,
bradikardia.
Ø
Sistem persyrafan : Penuruanan kesadaran, sakit kepala
terutama dibagian frontal, mata merah.fotofobia, injeksi
konjunctiva,iridosiklitis
Ø
Sistem perkemihan : Oligoria, azometmia,perdarahan
adernal
Ø
Sistem pencernaan : Hepatomegali, splenomegali,
hemoptosis, melenana
Ø
Sistem muskoloskletal : Kulit dengan ruam berbentuk
makular/makulopapular/urtikaria yang teresebar pada badan. Pretibial.
b. Laboratorium
Ø
Leukositosis normal, sedikit menurun,
Ø
Neurtrofilia dan laju endap darah (LED) yang meninggiu
Ø
Proteinuria, leukositoria
Ø
Sedimen sel torak
Ø
BUN , ureum dan kreatinin meningkat
Ø
SGOT meninggi tetapi tidak melebihi 5 x normal
Ø
Bilirubin meninggi samapai 40 %
Ø
Trombositopenia
Ø
Hiporptrombinemia
Ø
Leukosit dalam cairan serebrospinal 10-100/mm3
Ø
Glukosa dalam CSS Normal atau menurun
2. DIAGNOSA
1.
Ansietas b/d perubahan kesehatan (penyakit
leptospirosisi) ditandai dengan peningkatan tegangan, kelelahan,
mengekspresikan kecanggungan peran, perasaan tergantung, tidak adekuat
kemampuan menolong diri, stimulasi simpatetik.
2.
Nyeri (akut) b/d proses penyakit (penekanan/kerusakan
jaringan syaraf, infiltrasi sistem suplay syaraf, syaraf, inflamasi), ditandai dengan klien
mngatakan nyeri, klien sulit tidur, tidak mampu memusatkan perhatian, ekspresi
nyeri, kelemahan.
3.
Ketidakseibangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
b/d intake kurang ditandai dengan klien mengatakan intake tidak adekuat,
hilangnya rasa kecap, kehilangan selera, nausea dan vomitng, berat badan turun sampai
20% atau lebih dibawah ideal, penurunan massa otot dan lemak subkutan,
4.
Resiko kerusakan integritas kulit b/d efek kerja penyakitnya deficit imunologik,
penurunan intake nutrisi dan anemia.
5.
Kurangnya pengetahuan b/d kurangnya informasi,
misinterpretasi, keterbatasan kognitif ditandai dengan sering bertanya,
menyatakan masalahnya, pernyataan miskonsepsi, tidak akurat dalam mengikiuti
intruksi/pencegahan komplikasi.
3. INTERVENSI
1. Ansietas b/d
perubahan kesehatan (penyakit leptospirosisi) ditandai dengan peningkatan
tegangan, kelelahan, mengekspresikan kecanggungan peran, perasaan tergantung,
tidak adekuat kemampuan menolong diri, stimulasi simpatetik.
Tujuan :
ü
Klien dapat mengurangi rasa cemasnya
ü
Rileks dan dapat melihat dirinya secara obyektif.
ü
Menunjukkan koping yang efektif serta mampu
berpartisipasi dalam pengobatan.
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
|
1.
Tentukan pengalaman klien
sebelumnya terhadap penyakit yang dideritanya.
2.
Berikan informasi tentang
prognosis secara akurat.
3.
Beri kesempatan pada klien untuk
mengekspresikan rasa marah, takut, konfrontasi. Beri informasi dengan emosi
wajar dan ekspresi yang sesuai.
4.
Jelaskan pengobatan, tujuan dan
efek samping. Bantu klien mempersiapkan diri dalam pengobatan.
5.
Catat koping yang tidak efektif
seperti kurang interaksi sosial, ketidak berdayaan dll.
6.
Anjurkan untuk mengembangkan
interaksi dengan support system.
7.
Berikan lingkungan yang tenang dan
nyaman.
8.
Pertahankan kontak dengan klien,
bicara dan sentuhlah dengan wajar.
|
1.
Data-data mengenai pengalaman
klien sebelumnya akan memberikan dasar untuk penyuluhan dan menghindari
adanya duplikasi.
2.
Pemberian informasi dapat membantu
klien dalam memahami proses penyakitnya.
3.
Dapat menurunkan kecemasan klien.
4.
Membantu klien dalam memahami
kebutuhan untuk pengobatan dan efek sampingnya.
5.
Mengetahui dan menggali pola
koping klien serta mengatasinya/memberikan solusi dlm upaya meningkatkan
kekuatan dlm mengatasi kecemasan.
6.
Agar klien memperoleh dukungan
dari orang yang terdekat/keluarga.
7.
Memberikan kesempatan pada klien
untuk berpikir/merenung/istirahat.
8.
Klien mendapatkan kepercayaan diri
dan keyakinan bahwa dia benar-benar ditolong.
|
2. Nyeri (akut)
b/d proses penyakit (penekanan/kerusakan jaringan syaraf, infiltrasi sistem
suplay syaraf, syaraf, inflamasi),
ditandai dengan klien mngatakan nyeri, klien sulit tidur, tidak mampu
memusatkan perhatian, ekspresi nyeri, kelemahan.
Tujuan :
ü
Klien mampu mengontrol rasa nyeri melalui aktivitas
ü
Melaporkan nyeri yang dialaminya
ü
Mengikuti program pengobatan
ü
Mendemontrasikan tehnik relaksasi dan pengalihan rasa
nyeri melalui aktivitas yang mungkin
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
|
1.
Tentukan riwayat nyeri, lokasi,
durasi dan intensitas
2.
Evaluasi therapi: pembedahan,
radiasi, khemotherapi, biotherapi, ajarkan klien dan keluarga tentang cara menghadapinya
3.
Berikan pengalihan seperti
reposisi dan aktivitas menyenangkan seperti mendengarkan musik atau nonton TV
(distraksi)
4.
Menganjurkan tehnik penanganan
stress (tehnik relaksasi, visualisasi, bimbingan), gembira, dan berikan
sentuhan therapeutik.
5.
Evaluasi nyeri, berikan pengobatan
bila perlu.
6.
Diskusikan penanganan nyeri dengan
dokter dan juga dengan klien
7.
Berikan analgetik sesuai indikasi
seperti morfin, methadone, narkotik dll
|
1.
Memberikan informasi yang
diperlukan untuk merencanakan asuhan.
2.
Untuk mengetahui terapi yang
dilakukan sesuai atau tidak, atau malah menyebabkan komplikasi.
3.
Untuk meningkatkan kenyamanan
dengan mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri.
4.
Meningkatkan kontrol diri atas
efek samping dengan menurunkan stress dan ansietas.
5.
Untuk mengetahui efektifitas
penanganan nyeri, tingkat nyeri dan sampai sejauhmana klien mampu menahannya
serta untuk mengetahui kebutuhan klien akan obat-obatan anti nyeri.
6.
Agar terapi yang diberikan tepat
sasaran.
7.
Untuk mengatasi nyeri.
|
3. Ketidakseibangan
nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake kurang ditandai dengan klien
mengatakan intake tidak adekuat, hilangnya rasa kecap, kehilangan selera,
nausea dan vomitng, berat badan turun sampai 20% atau lebih dibawah ideal,
penurunan massa otot dan lemak subkutan.
Tujuan :
ü
Klien menunjukkan berat badan yang stabil, hasil lab
normal dan tidak ada tanda malnutrisi
ü
Menyatakan pengertiannya terhadap perlunya intake yang
adekuat
ü
Berpartisipasi dalam penatalaksanaan diet yang
berhubungan dengan penyakitnya
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
|
1. Monitor
intake makanan setiap hari, apakah klien makan sesuai dengan kebutuhannya.
2. Timbang
dan ukur berat badan, ukuran triceps serta amati penurunan berat badan.
3. Kaji
pucat, penyembuhan luka yang lambat dan pembesaran kelenjar parotis.
4. Anjurkan
klien untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori dengan intake cairan yang
adekuat. Anjurkan pula makanan kecil untuk klien.
5. Kontrol
faktor lingkungan seperti bau busuk atau bising. Hindarkan makanan yang
terlalu manis, berlemak dan pedas.
6. Ciptakan
suasana makan yang menyenangkan misalnya makan bersama teman atau keluarga.
7. Anjurkan
tehnik relaksasi, visualisasi, latihan moderate sebelum makan.
8. Kolaboratif
: Amati studi laboraturium seperti total limposit, serum transferin dan
albumin
|
1.
Memberikan informasi tentang
status gizi klien.
2.
Memberikan informasi tentang
penambahan dan penurunan berat badan klien.
3.
Menunjukkan keadaan gizi klien
sangat buruk.
4.
Kalori merupakan sumber energi.
5.
Mencegah mual muntah, distensi
berlebihan, dispepsia yang menyebabkan penurunan nafsu makan serta mengurangi
stimulus berbahaya yang dapat meningkatkan ansietas.
6.
Agar klien merasa seperti berada
dirumah sendiri.
7.
Untuk menimbulkan perasaan ingin
makan/membangkitkan selera makan.
8.
Untuk mengetahui/menegakkan
terjadinya gangguan nutrisi sebagi akibat perjalanan penyakit, pengobatan dan
perawatan terhadap klien.
|
4. Resiko
kerusakan integritas kulit b/d efek
kerja penyakitnya deficit imunologik, penurunan intake nutrisi dan anemia.
Tujuan :
ü
Klien dapat mengidentifikasi intervensi yang
berhubungan dengan kondisi spesifik
ü
Berpartisipasi dalam pencegahan komplikasi dan
percepatan penyembuhan
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
|
1.
Monitor perkembangan
kerusakan integritas kulit untuk
melihat adanya efek kerusakan kulit
2.
Anjurkan klien untuk tidak
menggaruk bagian yang gatal.
3.
Ubah posisi klien secara teratur.
4.
Berikan advise pada klien untuk
menghindari pemakaian cream kulit, minyak, bedak tanpa rekomendasi dokter.
|
1.
Memberikan informasi untuk
perencanaan asuhan dan mengembangkan identifikasi awal terhadap perubahan
integritas kulit.
2.
Menghindari perlukaan yang dapat
menimbulkan infeksi.
3.
Menghindari penekanan yang terus
menerus pada suatu daerah tertentu.
4.
Mencegah trauma berlanjut pada
kulit dan produk yang kontra indikatif
|
5. Kurangnya
pengetahuan b/d kurangnya informasi, misinterpretasi, keterbatasan kognitif
ditandai dengan sering bertanya, menyatakan masalahnya, pernyataan miskonsepsi,
tidak akurat dalam mengikiuti intruksi/pencegahan komplikasi.
Tujuan :
ü
Klien dapat mengatakan secara akurat tentang diagnosis
dan pengobatan pada ting-katan siap.
ü
Mengikuti prosedur dengan baik dan menjelaskan tentang
alasan mengikuti prosedur tersebut.
ü
Mempunyai inisiatif dalam perubahan gaya hidup dan
berpartisipasi dalam pengo- batan.
ü
Bekerjasama dengan pemberi informasi.
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
|
1.
Review pengertian klien dan
keluarga tentang diagnosa, pengobatan dan akibatnya.
2.
Tentukan persepsi klien tentang
kanker dan pengobatannya, ceritakan pada klien tentang pengalaman klien lain
yang menderita kanker.
3.
Beri informasi yang akurat dan
faktual. Jawab pertanyaan secara spesifik, hindarkan informasi yang tidak
diperlukan.
4.
Berikan bimbingan kepada
klien/keluarga sebelum mengikuti prosedur pengobatan, therapy yang lama, komplikasi.
Jujurlah pada klien.
5.
Anjurkan klien untuk memberikan
umpan balik verbal dan mengkoreksi miskonsepsi tentang penyakitnya.
6.
Review klien /keluarga tentang
pentingnya status nutrisi yang optimal.
7.
Anjurkan klien untuk mengkaji
membran mukosa mulutnya secara rutin, perhatikan adanya eritema, ulcerasi.
8.
Anjurkan klien memelihara
kebersihan kulit dan rambut.
|
1.
Menghindari adanya duplikasi dan
pengulangan terhadap pengetahuan klien.
2.
Memungkinkan dilakukan pembenaran
terhadap kesalahan persepsi dan konsepsi serta kesalahan pengertian.
3.
Membantu klien dalam memahami
proses penyakit.
4.
Membantu klien dan keluarga dalam
membuat keputusan pengobatan.
5.
Mengetahui sampai sejauhmana
pemahaman klien dan keluarga mengenai penyakit klien.
6.
Meningkatkan pengetahuan klien dan
keluarga mengenai nutrisi yang adekuat.
7.
Mengkaji perkembangan
proses-proses penyembuhan dan tanda-tanda infeksi serta masalah dengan
kesehatan mulut yang dapat mempengaruhi intake makanan dan minuman.
8.
Meningkatkan integritas kulit dan
kepala.
|
4. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan
keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan kolaboratif.
Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan
klien
5. EVALUASI
Tahap evaluasi
dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subyektif dan obyektif
yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai atau
belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi
dan analisa masalah selanjutnya
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Enteritis
regional,ileokolitis, atau penyakit crohn
merupakan suatu penyakit peradangan granulomaltosa kronis pada saluran
cerna yang sering terjadi berulang. Secara klasik penyakit ini menganai ileum
terminalis, walaupun dapat juga mengenai setiap saluran cerna.
Etiologi
enteritis regional tidak diketahui. Walaupun tidak ditemukan adanya
autoantibodi, enteritia regional diduga marupakan suatu reaksi
hipersensitivitas atau mungkin disebabkan oleh agen infektif hyang belum
diketahui. Teori-teori ini dikemukakan karena adanya lesi-lesi granulomatosa
yang mirip dengan lesi-lesi yang ditemukan pada lesi jamur dan tuberkolosis
paru.
Manifestasi
klinis yaitu:
· Diari
· Nyeri abdomen
· Malaise
· Penurunan berat
badan
· Kehilangan
nafsu makan Mual, muntah
· Demam(
peningkatan suhu tubuh)
Leptospirosis
adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan yang
disebabkan kuman leptospira pathogen dan digolongkan sebagi zoonosis yaitu penyakit
hewan yang bisa menjangkiti manusia. Hewan yang
paling banyak mengandung bakteri leptospira ini (resevoir) adalah hewan
pengerat dan tikus. Penyakit leptospirosis mungkin banyak terdapat di
Indonesia terutama di musim penghujan.
Penularan dari hewan ke manusia dapat terjadi secara langsung ataupun tidak
langsung, sedangkan penularan dari manusia ke manusia sangat jarang. Pengobatan dengan antibiotik merupakan pilihan terbaik pada
fase awal ataupun fase lanjut (fase imunitas). Selain pengobatan antibiotik, perawatan pasien tidak kalah pentingnya untuk
menurunkan angka kematian. Angka kematian pada pasien leptospirosis menjadi
tinggi terutama pada usia lanjut, pasien dengan ikterus yang parah, gagal
ginjal akut, gagal pernafasan akut.
2.
SARAN
Semoga dalam pembuatan makalah ini
kami sebagai penyusun makalah serta para pembaca lebih dapat memahami apa penyakit
Crohn itu dan
berbagai hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut, seta dapat memberikan asuhan
keperawatan terhadap penyakit ini dengan tepat. Pada akhirnya saran beserta kritik
kami harapkan guna penyempurnaan makalah
selanjutnya, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amin
Ø Pada orang berisiko tinggi terutama yang bepergian ke daerah berawa-rawa
dianjurkan untuk menggunakan profilaksis dengan doxycycline.
Ø Masyarakat terutama di daerah persawahan, atau pada saat banjir mungkin ada
baiknya diberi doxycycline untuk pencegahan.
Ø Para klinisi diharapkan memberikan perhatian pada leptospirosis ini
terutama di daerah-daerah yang sering mengalami banjir.
Ø Penerangan tentang penyakit leptospirosis sehingga masyarakat dapat segera
menghubungi sarana kesehatan
DAFTAR PUSTAKA
Herdman, T. Heather. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan
Klasifikasi 2012-2014. Ahli Bahasa : Made Sumaryati, Nike Budhi Subekti ;
Editor Edisi Bahasa Indonesia : Barrarah Barlid, Monica Ester, Wari Praptiani.
Jakarta : EGC, 2012.
Wilkinson, Judith M. Buku Saku Diagnosa Keperawatan : Diagnosa
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Alih Bahasa : Esty Wahyuningsih
; Editor edisi Bahasa Indonesia : Dwi
Widiarti. Ed. 9. Jakarta : EGC.
Prasetiyawan,
Fandik. 2014. Diaskes at blogspot 03 Maret 2014 (http://fandik-prasetiyawan.blogspot.com/)
Lestari. Kamus
Keperawatan. Penerbit : Buana Press
Donna,D.I.Etal.1995.medikal surgical
nursing
A nursing process Approach 2 nd
edition : WSB auders
FKUA,1984.pedoman diagnosis dan ilmu
penyakit dalam. FKUA. Surabaya
Syilviana.1996.kapitalselekta
kedokteran buku I.EGC.jakarta